Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Sekadar menyayangi anak bukanlah sebuah prestasi bagi ibu dan ayah. Yang menjadi prestasi insani adalah mendidiknya dan memandunya kepada nilai-nilai luhut kemanusiaan sebagai koridor pandangan dan tindakan, sekaligus menjadi prestasi kehambaan bila mengarahkannya kepada prinsip ketuhanan dan keagamaan.
Tanpa fungsi itu, hanya menyayangi anak tanpa parameter logika bisa melenceng dari koridor kepatutan dan kontra produktif bahkan merugikan diri sendiri serta anak yang disayanginya. Akibatnya, ayah dan ibu bisa memperlakukan anaknya sebagai tuhan dan dirinya sebagai hambanya. Anak pun tanpa bimbingan pemahaman rasional tentang agama bisa memperlakukan orang tuanya sebagai tuhan karena mematuhinya secara mutlak. Dalam situasi paradoksal demikian, ayah dan ibu bisa merusak anak, dan anak bisa merugikan secara moral dan spiritual orang tuanya.
“Ketahuilah—wahai orang-orang mukmin—bahwa harta dan anak-anak kalian sejatinya merupakan cobaan dan ujian dari Allah untuk kalian. Karena harta dan anak-anak kalian dapat menghalangi-halangi kalian beramal untuk Akhirat dan mendorong kalian untuk berkhianat.” (QS. Al-Anfal : 28).
Sebagian pria adalah pribadi baik sampai ketika anaknya menjadi tuhannya yang kedua. Inilah yang terjadi dalam arena politik belakangan ini ketika seorang pemimpin kehilangan semua sifat kenegarawanannya akibat tak mampu membedakan posisinya sebagai pemegang amanat rakyat dan posisinya sebagai ayah bagi anak-anaknya.
Dalam psikologi sosial, konsep hubungan orang tua-anak memiliki dampak yang signifikan terhadap pembentukan kepribadian dan perilaku individu. Pemahaman ini juga dapat diterapkan dalam konteks hubungan antara seorang pemimpin dan rakyatnya. Ketika seorang pemimpin memperlakukan anak-anaknya sebagai “tuhannya yang kedua,” hal ini mencerminkan dinamika kekuasaan dan pengaruh yang bisa memengaruhi tindakan dan keputusan politiknya.
Dalam hubungan yang sehat antara pemimpin dan rakyat, perlunya batasan yang jelas antara kewajiban sebagai pemimpin dan tanggung jawab sebagai ayah perlu dijaga untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam psikologi politik, fenomena di mana seorang pemimpin kehilangan sifat kenegarawanannya karena tidak mampu membedakan peran sebagai pemimpin negara dan sebagai ayah bagi anak-anaknya mencerminkan ketidakseimbangan dalam pelaksanaan kekuasaan.
Pemimpin yang memperlakukan anak-anaknya sebagai prioritas utama cenderung mengorbankan kepentingan publik demi keuntungan pribadi atau keluarga. Hal ini dapat merusak legitimasi dan otoritas pemimpin tersebut di mata masyarakat dan mengancam demokrasi yang seharusnya dijalankan dengan prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.
Dampak dari memanjakan anak-anak, baik dalam konteks keluarga maupun dalam konteks politik, memiliki implikasi yang signifikan. Anak yang dimanjakan cenderung kurang bertanggung jawab, bergantung pada orang lain, mudah menyerah, dan sulit berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Dalam konteks kepemimpinan politik, perilaku yang memanjakan keluarga atau orang-orang terdekat bisa menyebabkan ketidakadilan, konflik kepentingan, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Kesimpulannya, pemimpin dalam demokrasi harus mampu memisahkan peran pribadi dan publik dengan bijaksana untuk menjaga integritas kenegaraan dan keadilan bagi masyarakat. Mengabaikan perbedaan antara menjadi pemimpin negara dan ayah bagi anak-anak dapat mengarah pada konflik peran yang berpotensi merugikan bagi stabilitas politik dan keadilan sosial. Peran dan tanggung jawab sebagai pemimpin harus dilakukan dengan penuh kesadaran akan kepentingan kolektif masyarakat dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi. (*Cendekiawan Muslim)