Kisah Pernikahan Rasulullah dengan Sayidah Khadijah

Ilustrasi. (Kumparan)

BAINDONESIA.CO – Khadijah, siang dan malam, hatinya tertawan oleh Muhammad al-Amin. Dia selalu mencari kesempatan untuk mendekatinya. Cintanya pada Muhammad membara seperti api. Di siang hari gelisah, di malam hari dia bermimpi untuk bersatu dengannya.

Suatu malam, dalam mimpinya, Khadijah melihat matahari berputar di atas Makkah, lalu turun ke rumahnya. Dia menceritakan mimpi ini kepada Waraqah bin Naufal, yang meramalkan bahwa dia akan menikahi seorang yang akan mendominasi dunia.

Abu Thalib, seorang tokoh terkemuka di Quraisy, prihatin dengan keponakannya, Muhammad saw. Dia menyarankan agar Muhammad bekerja dengan Khadijah, seorang pedagang kaya. Meskipun Muhammad merasa malu, dia menolak usulan tersebut dengan alasan bahwa Khadijah sendiri mungkin akan menghubunginya.

Khadijah mengenal kejujuran Muhammad dan mengutus seseorang untuk memanggilnya. Mereka bersepakat untuk perjalanan dagang ke Syam, di mana Muhammad memimpin dengan baik, dan mereka sukses dalam bisnis.

Setelah pulang, Muhammad menceritakan pengalamannya kepada Khadijah, yang memberinya hadiah dan upah sesuai kontrak. Semua yang diterimanya dia serahkan kepada pamannya, Abu Thalib. Khadijah semakin terpesona oleh kisah-kisah indah dan karakter Muhammad, dan cintanya kepada Muhammad semakin berkobar. Muhammad adalah pemuda teladan yang dihormati oleh keluarga-keluarga terkemuka di Makkah, dengan Abu Thalib sebagai pelindungnya.

Kecintaan Khadijah kepada Muhammad al-Amin adalah cinta pada kejujuran dan spiritualitas, yang selalu dia curahkan dalam ibadahnya di gua Hira selama empat puluh tahun. Khadijah, seorang wanita terhormat di Makkah, tidak memiliki cinta palsu. Cintanya adalah cinta suci yang mempengaruhi seluruh hidupnya.

Khadijah menceritakan semua yang diketahuinya tentang Muhammad al-Amin kepada Waraqah bin Naufal, yang membenarkannya. Hal ini semakin menguatkan keyakinan Khadijah pada Muhammad. Khadijah menolak tawaran pernikahan dari para pemimpin Arab yang datang meminangnya seperti ‘Uqbah bin Mu’ith, Abu Jahal, dan Abu Sufyan. Ia bahkan berkata kepada Muhammad bahwa dia ingin menikah dengannya.

Muhammad menjawab bahwa dia akan membicarakan hal ini dengan pamannya. Seorang sahabat Khadijah, Nafisah binti Aliyah, juga menyampaikan pesan kepada Muhammad, mengusulkan pernikahan dengan Khadijah. Akhirnya, Khadijah dan Muhammad setuju untuk menikah, dan mereka merencanakan pernikahan mereka.

Khadijah sangat mencintai Muhammad, dan dia merasa beruntung bisa menjadi cinta pertamanya. Dia berharap bahwa takdirnya tidak menyakitkan hati orang lain yang mencintai Muhammad. Mimpinya tentang Muhammad hampir menjadi kenyataan, dan dia merasa terpancarkan oleh cinta yang mendalam untuknya.

Dialog Khadijah dengan Muhammad al-Amin

Dengan pesan dari Khadijah, nabi yang dijanjikan itu pergi untuk bertemu dengan Khadijah, atau setelah berkonsultasi dengan pamannya, Abu Thalib, ia menuju ke rumah Khadijah. Di sana, ia mendapat penghormatan khusus dari Khadijah dan melantunkan beberapa syair untuk mengekspresikan perasaannya.

Khadijah bertanya, “Ada sesuatu yang bisa kusiapkan untukmu?”

Muhammad, yang sangat malu, terdiam sejenak. Lalu dia menjawab, “Apakah aku bisa bertanya sesuatu padamu?”

Khadijah mengizinkannya dan berkata, “Silakan, tanyakan apa yang kamu ingin ketahui.”

Muhammad bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan dengan hasil perdagangan ini?”

Khadijah bertanya lagi, “Apa maksudmu?”

Muhammad menjelaskan, “Pamanku, Abu Thalib, menginginkan aku menikah dengan menggunakan hasil ini.”

Dengan senyuman campur kebahagiaan, Khadijah berkata, “Apa kamu setuju jika aku memenuhi keinginan pamanku itu? Aku kenal dengan seorang wanita yang sangat cocok untukmu, baik dari segi kecantikan maupun kebaikannya. Dia adalah wanita yang suci dan berpengalaman dalam menjalani kehidupan. Banyak yang ingin menikahinya, termasuk wanita-wanita terhormat di Arab. Wahai Muhammad, aku juga akan memberitahukan kejelekannya. Dia pernah menikah dua kali sebelumnya dan hidup bersama suaminya selama bertahun-tahun.”

Muhammad bertanya, “Siapakah nama wanita itu?”

Khadijah tersenyum dan menjawab, “Dia adalah budakmu, Khadijah!”

Muhammad terkejut dan berkata, “Astaghfirullah! Dia telah menceritakan tentang dirinya sendiri. Apa yang bisa kukatakan?”

Khadijah menggertakkan tangan dan berkata, “Mengapa kamu tidak menjawabku? Demi Allah, aku mencintaimu dengan tulus dan tidak akan pernah menolakmu dalam setiap keadaan.”

Kepada kerendahan hati Muhammad yang penuh dengan kewibawaan dan sopan ini, Khadijah menangis, dan dia spontan melantunkan beberapa bait syair, “Hatiku telah terikat padamu. Cintamu adalah taman dalam hatiku. Jika kamu menolakku, jiwa ini akan terpisah dari tubuhku.”

Muhammad menjawab, “Mengapa kamu berkata seperti itu? Kamu adalah ratu di antara wanita Arab, sedangkan aku hanyalah seorang pemuda miskin.”

Khadijah berkata, “Orang yang siap mengorbankan jiwa untukmu, apakah ia akan mempertahankan hartanya? Wahai Muhammad, kamu adalah fondasi kepercayaan Makkah, kamu adalah seluruh harapanku. Aku akan menutupi semua kekuranganmu. Aku akan memberikan segala yang aku miliki, termasuk kekayaan dan status sosialku, untukmu. Wahai matahari Makkah yang bersinar, datanglah melalui jendela harapanku dan wujudkanlah harapanku untuk pamanku yang sudah tua, yang selalu berharap melihatmu menikahi seorang wanita. Jangan menghindariku. Jangan membuatku putus asa. Demi Kakbah dan bukit Shafa, jangan menjauh dariku. Bangunlah dan temui pamanku, utuslah mereka untuk meminangku. Kamu akan mendapatkan seorang istri yang setia dan teguh.”

Setelah pertemuan mereka, Rasulullah keluar dari rumah Khadijah dan pergi menemui pamannya, Abu Thalib. Kegembiraan dan kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Ia menemukan pamannya sedang berkumpul dengan beberapa anggota keluarganya. Abu Thalib melihat wajah Rasulullah dengan perasaan bangga dan berkata, “Keponakanku, selamat atas pemberian dari Khadijah. Aku kira dia telah memberikan segalanya padamu.”

Rasulullah menjawab dengan lembut, “Paman, aku punya permintaan.”

Abu Thalib bertanya dengan sabar, “Permintaan apa itu? Katakan saja, dan aku akan melakukannya secepat mungkin.”

Muhammad berkata, “Paman, aku ingin kamu dan paman-paman yang lain pergi dan meminangkan Khadijah untukku.”

Tidak semua pamannya setuju dengan permintaannya, kecuali Abu Thalib. Abu Thalib berkata, “Seharusnya kita belajar dari dia, bukan sebaliknya. Khadijah adalah seorang wanita yang luar biasa, berkepribadian baik, dan menjaga dirinya dari segala cela dan aib. Semua pemimpin Arab, termasuk pemimpin Quraisy, ingin menikahinya dan menawarkan harta berlimpah, tapi dia menolak mereka semua dan merasa lebih baik daripada mereka. Kamu miskin dan tidak memiliki harta. Khadijah mungkin ingin bergurau denganmu. Jangan terlalu serius mengenai gurauannya ini. Dan jangan sebarkan kabar ini ke telinga orang Quraisy.”

Abu Lahab, seorang paman Rasulullah, dengan nada sinis berkata, “Keponakanku, kamu tidak pantas bagi Khadijah.”

Abbas berdiri dengan tegas dan berkata, “Kamu salah besar, Abu Lahab. Tidak ada yang bisa mencari celaan pada keponakanku. Dia memiliki daya tarik dan kesempurnaan yang tak tertandingi. Bagaimana mungkin Khadijah merasa lebih baik darinya? Apakah dengan harta, kecantikan, atau kesempurnaannya? Demi Allah, jika Khadijah meminta mahar darinya, aku akan mengelilingi padang pasir dan memasuki kerajaan-kerajaan untuk memenuhi permintaannya.”

Waraqah (paman Khadijah) pergi menemui Khuwailid untuk mengingatkannya agar tidak menolak Bani Hasyim dan mengkritik perilakunya yang buruk. Khuwailid mengemukakan alasan bahwa Muhammad tidak memiliki kekayaan, dan dia ragu bahwa Khadijah akan mau menerimanya. Waraqah pun menjawab keraguan Khuwailid dan mengajaknya untuk pergi bersama-sama ke rumah Abu Thalib, dan Khuwailid menunjuk Waraqah sebagai wakilnya dalam semua urusan Khadijah.

Hamzah, paman Nabi, merasa tidak puas dengan perwakilan ini dan meminta agar pengumuman perwakilan itu dibacakan di depan masyarakat Quraisy. Maka, mereka semua pergi ke Kakbah, di mana sekelompok orang telah berkumpul, termasuk Syaibah bin Abi Wahab, Hisyam bin Mughirah, Abu Jahal bin Hisyam, Uqbah bin abi Mu’ith, Umayah bin Khalaf, dan Abu Sufyan. Di hadapan mereka, Khuwailid mengakui perwakilan tersebut dan memutuskan bahwa pernikahan resmi akan dilangsungkan esok harinya. Abu Thalib mengakhiri pembicaraannya, dan dengan itu, pertunangan dari pihak laki-laki selesai.

Abu Thalib pun menyembelih unta, mengadakan walimah, dan menikahkan Nabi saw dengan Khadijah.

Di hari pernikahannya, Khadijah pun membacakan akad nikahnya sendiri, “Muhammad yang mulia, aku nikahkan diriku denganmu, dan maskawin serta biaya pernikahan ini aku ambil dari kekayaanku. Katakanlah kepada pamanmu untuk menyembelih unta, menyiapkan resepsi pernikahan, dan masuklah ke rumah istri kapan pun yang kamu mau.” (*)

Sumber: Disarikan dari buku Kisah Pernikahan Rasul Saw dan Ahlulbaitnya karya Dr. Ibrahim Babai Amuli

Berita
Lainnya