Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Bila diperhatikan, terlihat sebuah pola tetap di balik konten yang menayangkan perkelahian, pertengkaran, pengeroyokan, tawuran, penganiayaan juga sesumbar atau tantangan yang selalu dibarengi dengan caption dan narasi kebencian. Yang memprihatinkan, konten-konten demikian diminati dan punya sebaran luas. Sekali seseorang menontonnya lebih dari 1 menit, dia akan diingatkan oleh notifikasi dan tawaran dengan konten yang sama bahkan yang lebih keras. Kok bisa?
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan manusia mampu menghasilkan karya-karya yang semakin canggih dan kompleks. Meskipun komputer dapat melakukan perhitungan dengan cepat dibandingkan manusia pada umumnya, namun komputer tidak bisa menyelesaikan masalah begitu saja tanpa diajarkan oleh manusia melalui urutan langkah-langkah (algoritma) penyelesaian yang didefinisikan terlebih dahulu. Selain digunakan untuk pemecahan masalah menggunakan komputer, algoritma juga dapat diterapkan dalam menyelesaikan permasalahan sehari-hari yang membutuhkan sederet proses atau langkah-langkah prosedural.
Secara antropologis dan sosiologis sesuai hukum dialektika, tindakan apa pun, termasuk pernyataan di ruang publik dari siapa pun, apalagi punya kekuasaan struktural atau kultural (baca: agama) atau yang punya pengaruh luas karena kaya, tenar atau lainnya pasti mengundang reaksi yang menegasinya.
Seorang figur politik yang disegani karena keberaniannya melawam korupsi bisa tumbang seolah tak punya nilai apa pun bila keceplosan membuat sebuah pernyataan yang di-framing oleh satu orang sebagai pelecehan atau diskriminasi di ruang media sosial meski tak bermaksud melakukannya.
Seorang artis yang dikagumi bisa jadi gawang hujatan masif karena salah satu video atau fotonya di-framing oleh seseorang sebagai perselingkuhan. Walaupun membantah dan menganggapnya sebagai fitnah, alogoritma tak punya empati untuk mengasihaninya lalu memulihkan posisinya.
Framing demikian bisa menimbulkan pengaruh yang lebih kolosal dan engegement-nya lebih luas bila objeknya tidak personal tapi komunal apalagi dibumbui dengan jargon primordial.
Dan kecenderungan umum ini menjadi lebih berbahaya dengan sistem algoritma media sosial yang perputaran informasinya hanya pada kelompok masing-masing. Kecenderungan sifat bawaan yang rawan ini, mudah disulut oleh informasi dari media sosial yang memperkukuh fanatisme kelompoknya dan sekaligus menstimulasi kebencian terhadap kelompok lain.
Pada dasarnya, algoritma tidak memiliki preferensi moral atau etika. Ia hanya mencerminkan dan memperkuat pola perilaku kita sendiri yang terkadang bisa berujung pada hasil yang merusak.
Dengan menggunakan data dari interaksi kita, algoritma ini memperkirakan apa yang ingin kita lihat berikutnya. Sering kali tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang dari konten negatif yang terus-menerus kita konsumsi.
Ada beberapa alasan mengapa konten kebencian dan kekerasan lebih banyak disukai dan tersebar luas di media sosial:
Pertama, sensasi dan klikbait. Konten yang kontroversial dan provokatif cenderung menarik perhatian lebih banyak orang karena menimbulkan emosi yang kuat. Orang-orang cenderung lebih banyak berinteraksi dengan konten yang kontroversial atau menciptakan kekerasan karena ingin menyaksikan atau terlibat dalam situasi yang menegangkan.
Kedua, algoritma media sosial. Algoritma dalam platform media sosial sering kali memberikan prioritas pada konten yang mendapat banyak interaksi, termasuk like, komentar, dan share. Hal ini membuat konten kebencian dan kekerasan menjadi lebih mudah tersebar luas karena mendapat lebih banyak eksposur.
Ketiga, anonimitas. Media sosial memberikan kesempatan bagi pengguna untuk berinteraksi tanpa harus mengungkapkan identitas asli mereka. Hal ini membuat orang merasa lebih bebas untuk memberikan komentar atau meluapkan emosi negatif mereka tanpa takut mendapat konsekuensi yang nyata.
Keempat, dampak psikologis. Konten kebencian dan kekerasan seringkali menghasilkan reaksi emosional yang kuat pada orang-orang yang melihatnya. Beberapa orang mungkin merasa terhibur atau merasa lebih kuat dengan menyaksikan konten tersebut, meskipun sebenarnya hal tersebut sangat merugikan bagi kesejahteraan mental dan emosional mereka.
Kelima, kurangnya kontrol. Konten di media sosial dapat tersebar dengan cepat tanpa adanya filter atau kontrol yang ketat. Hal ini membuat konten kebencian dan kekerasan lebih mudah untuk menyebar dan sulit untuk dihentikan.
Media sosial bagi sebagian orang adalah sarana komunikasi yang cepat dan mencari informasi yang mudah demi tujuan hidup yang lebih berkualitas, tapi bagi sebagian lain ia adalah ruang ekspresi tanpa batas norma apa pun demi menggantikan fakta diri yang mengutuk nasibnya di dunia real karena kurang beruntung secara sosial, intelektual dan lainnya, dan berusahan menciptakan citra artifisial yang menarik perhatian, eksplosif, sensasional (yang secara algoritma memperbanyak tautan sekaligus mendatangkan keuntungan finansial karena iklan-iklan yang menjeda) seraya mengabaikan efek negatifnya bagi orang lain.
Ada tiga hal yang menjadikan entitas digital mempengaruhi proses panjang pikiran manusia, yaitu cyber ghetto, echo chamber, dan filter bubble. Ketiganya adalah konsep yang menjelaskan bagaimana realitas digital kita dibentuk.
Cyber ghetto mengurung kita dalam wilayah digital yang homogen. Echo chamber memantulkan kembali pandangan dan opini kita tanpa tantangan. Dan, filter bubble menyaring informasi yang kontras dengan keyakinan kita, sehingga kita hanya diberi makanan pikiran yang sejalan dengan apa yang sudah kita percayai. Semakin kita terbenam dalam lingkungan ini, semakin kita jauh dari realitas yang sebenarnya beragam dan kompleks.
Untuk membebaskan diri dari rantai kebencian ini, kita perlu mengambil langkah aktif. Edukasi digital dan literasi media menjadi kunci. Kita harus belajar untuk mengenali dan memahami bagaimana algoritma bekerja dan bagaimana ia mempengaruhi pemahaman kita tentang dunia. Kita harus berani keluar dari zona nyaman kita, mengeksplorasi pandangan yang berbeda, dan berdialog dengan pikiran terbuka.
Aneka konten kebencian dan kekerasan tidak seharusnya dibiarkan tersebar di media sosial. Pengguna media sosial perlu lebih bijak dalam memilih konten yang mereka konsumsi dan memberikan respons yang tepat terhadap konten yang merugikan tersebut. Sebagai individu, kita juga memiliki tanggung jawab untuk melaporkan konten negatif dan mendukung promosi konten yang positif dan konstruktif. (*Cendekiawan Muslim)