Profil Kakek Rasulullah: Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf

Abdul Mutthalib adalah kakek Rasulullah serta pemimpin yang disegani di kota Mekah. (Arina)

BAINDONESIA.CO – Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf adalah kakek Rasulullah Muhammad saw, pembesar kabilah Quraisy yang sangat disegani dan dihormati di kota Mekah.

Ia lahir di kota Yatsrib dan hijrah ke Mekah pada usia 7 tahun dan menjalani kehidupannya di kota tersebut sampai akhir hayatnya. Dia dikenal dalam peristiwa penyerangan kota Mekah oleh pasukan bergajah yang dipimpin Abrahah.

Abdul Mutthalib berasal dari kabilah Quraisy, putra Hasyim sehingga ia dikenal sebagai pembesar dari bani Hasyim. Nasab dan silsilah keluarganya sampai kepada Nabi Ibrahim as. Ibunya bernama Salma binti ‘Amru dari bani Najjar Khazraj dari Thaifah.

Setelah Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah, kabilah neneknya tersebut menjadi sahabat dan pembela Rasulullah saw.

Nasab Aimmah as dan para pembelanya (bani Ali, bani Ja’far dan bani Aqil) berujung pada Abu Thalib bin Abdul Mutthalib dan yang berasal dari nasab bani Abbas ada 37 orang dari khalifah Dinasti Abbasiyah (132 H/749-656 H/1258) sampai kepada Abbas bin Abdul Mutthalib dan nasab 17 orang dari khulafah Abbasiyah di Mesir (659 H/1261-923 H/1517).

Begitupun khalifah ke-35 Dinasti Abbasiyah di Irak yaitu al-Thahir Billah (622 H/1225-623 H/1226) juga sampai kepada Abbas bin Abdul Mutthalib.

Nama asli Abdul Mutthalib yaitu Syaibah dan kunyahnya adalah Abu al-Harits. Disebutkan pula bahwa ia memiliki nama lainnya, di antaranya Amir, Sayid al-Bathaha’, Saqi al-Hajaij, Saqi al-Ghaits, Ghaits al-Wara fi al-‘Am al-Jadab, Abu al-Sadat al-‘Asyarah, Abd al-Muthalib, Hafir Zam-zam, Ibrahim Tsani dan Fayyadzh.

Yang menjadi penyebab ia lebih dikenal dengan sebutan Abdul Mutthalib, setelah beberapa tahun pasca wafatnya Hasyim, Muththalib (paman Abdul Mutthalib) membawanya dari kota Yastrib ke kota Mekah. Sewaktu warga kota Mekah dan Quraisy melihat Abdul Mutthalib memasuki kota bersama pamannya, mereka menganggapnya sebagai budak yang dibawa Muththalib dari kota Yastrib, dengan itu dinamai Abdul Mutthalib (budak atau hamba sahaya dari Muththalib), meski mereka menyadari kekeliruan itu, nama Abdul Mutthalib oleh penduduk Mekah terus dilekatkan padanya.

Hasyim, ayah Abdul Muthalib, dalam perjalanannya ke Yastrib, ia menikah dengan Salma binti ‘Amru bin Zaid dari Thaifah bani Najjar. Sebelum kelahiran putranya Abdul Muthalib (Syaibah), Hasyim melakukan perjalananan ke kota Gaza Palestina, namun meninggal dunia di kota tersebut dan di tempat itu pula ia dimakamkan. Beragam pendapat dari ahli sejarah menyebutkan Abdul Mutthalib bersama ibunya di kota Yastrib selama 7 tahun, ada pula yang menyebut lebih dari itu. Tidak berselang lama, Muththalib pamannya sengaja ke kota Yastrib untuk menjemputnya dan membawanya kembali ke kota Mekah.

Muththalib setelah kematian saudaranya Hasyim, ia kemudian menjadi pengganti kedudukannya sebagai kepala kabilah. Setelah beberapa tahun berlalu, sewaktu berada di Yaman di sebuah perkampungan bernama Radiman, ia meninggal dunia sehingga kedudukannya sebagai kepala kabilah jatuh ke tangan keponakannya, Abdul Muththalilb.

Abdul Mutthalib berkat kecakapan, kecerdasan dan kebijaksanaan yang dimilikinya, semua kaum Quraisy ridha dengan kepemimpinannya.

Ya’qubi mengatakan, “Abdul Mutthalib sewaktu memegang kedudukan sebagai kepala kabilah, tidak disertai dengan persaingan. Allah Swt tidak memberikan kecakapan dan kemampuan memimpin pada siapa pun di zamannya sebagaimana yang ia miliki. Dari sumur Zam-zam di Mekah sampai Dzu al-Haram di Thaif ia jamin kenyamanannya. Kaum Quraisy sendiri memberikan masing-masing hartanya kepada Abdul Mutthalib untuk dikelola dan di bawah manajemennya tidak ada seorang pun warga yang mengalami kelaparan meskipun burung-burung di pegunungan juga tidak pernah ada yang kekurangan makanan.

Mengenai hal tersebut, Abu Thalib pernah berkata, “Betapa kami memberikan makanan kepada masyarakat, sampai burung-burung pun merasa dikenyangkan oleh kedermawanan kami.”

Semasa hidupnya, Abdul Mutthalib sama sekali tidak pernah menyembah berhala. Ia meyakini tauhid dan memiliki ilmu ma’rifat mengenai Allah Swt sehingga jika ia bernadzar atau bersumpah maka ia niatkan karena Allah Swt. Sebagian dari sunnah yang dijaganya disebutkan dalam Alquran.

Ya’qubi meriwayatkan hadis yang sanadnya sampai ke Nabi Muhammad saw, bahwa ia bersabda, “Allah Swt mengumpulkan pada kakek saya—Abdul Mutthalib—silsilah kenabian dan keagungan para bangsawan.”

Pasukan Bergajah

Berdasarkan catatan sejarah, baik dalam periwayatan Islam maupun kesaksian warga setempat, peristiwa penyerangan ke kota Mekah oleh tentara Abrahah yang dikenal dengan istilah ashab al-Fil (Pasukan Gajah) yang hendak menghancurkan Kakbah terjadi pada masa Abdul Mutthalib sebagai kepala kabilah dan pimpinan di kota Mekah.

Sewaktu memasuki kota Mekah, tentara Abrahah merampas unta-unta milik penduduk Mekah. Ketika mendapatkan laporan tersebut, Abdul Mutthalib menemui Abrahah dan memprotes tindakannya. Ia meminta agar unta-unta yang dirampas tentara Abrahah untuk segera dikembalikan kepada pemiliknya. Abrahah mengatakan, “Aku pikir kamu datang berdialog untuk mencegah niatku menghancurkan Kakbah.”

Abdul Mutthalib, “Saya adalah penanggungjawab dan penjaga dari unta-unta yang dirampas oleh tentara anda. Sementara Kakbah, ada pemiliknya sendiri yang akan menjaganya.”

Sehabis menyampaikan hal tersebut, ia kembali ke kota Mekah dan memerintahkan kepada penduduk kota Mekah untuk berlindung di balik bukit sembari membawa harta benda mereka untuk diselamatkan.

Hari berikutnya, terjadilah peristiwa yang sangat menakjubkan. Ketika pasukan bergajah Abrahah hendak menghancurkan Kakbah, tiba-tiba berdatangan sekelompok burung dari langit yang menyerang pasukan tersebut sehingga pasukan tersebut kocar-kacir. Banyak dari pasukan bergajah tersebut yang tewas dan sebagian kecil dari mereka melarikan diri.

Penggalian Sumur Zam-zam

Menurut catatan sejarah kota Mekah, sebelum Mekah di bawah dominasi Qushay bin Kilab (nenek moyang Rasulullah saw), kabilah Jurhum lebih dulu berkuasa di Mekah.

Namun karena kabilah Jurhum bertindak sewenang-wenang dan menindas kabilah lain, maka terjadi perebutan kekuasaan yang diawali dengan perang antar kabilah yang berlarut-larut.

Saat Umar bin Harits menjadi kepala kabilah, Jurhum mengalami kekalahan. Untuk menyelamatkan harta kabilah yang tersimpan di dalam Kakbah, Umar bin Harits mengeluarkannya dan menjatuhkannya ke sumur Zam-zam kemudian menutupinya dengan tanah supaya tidak bisa ditemukan.

Beberapa tahun setelahnya saat Mekah di bawah kekuasaan Abdul Muthalib, ia memerintahkan untuk menemukan kembali sumur Zam-zam dan melakukan penggalian atasnya.

Beruntung, lokasi sumur Zam-zam bisa ditemukan dan pasca penggalian, Abdul Muthalib menemukan harta dan perhiasan yang tersembunyi di dalamnya. Dengan harta tersebut, Abdul Muthalib mendanai renovasi Kakbah, termasuk renovasi sumur Zam-zam sehingga akhirnya bisa dimanfaatkan kembali oleh penduduk kota Mekah.

Menurut sebagian perawi, pada peristiwa penggalian sumur Zam-zam, ia mendapat penentangan dan protes dari pembesar-pembesar Quraisy lainnya.

Untuk memuluskan langkahnya, Abdul Muthalib melakukan nazar (janji) kepada dirinya sendiri bahwa jika ia mempunyai 10 anak, maka ia akan mengorbankan salah satu dari kesepuluh anaknya tersebut di jalan Allah Swt di sisi Kakbah. Proses penggalian sumur Zam-zam pun mendapat kemudahan dari Allah Swt dan akhirnya bisa kembali dimanfaatkan seperti semula.

Beberapa tahun kemudian, Abdul Muthalib dikaruniai anak sampai sepuluh orang. Ia mengundi nama kesepuluh anaknya dan anak yang bernama Abdullah yang keluar namanya. Namun, keputusan terakhir adalah mengorbankan seratus onta untuk menggantikan posisi Abdullah.

Ali Dawani dengan bersandar pada keyakinan bahwa Abdul Mutthalib adalah seorang yang bertauhid dan bentuk nazar yang dilakukan oleh Abdul Mutthalib dengan mengorbankan anaknya adalah perbuatan penyembah berhala. Ia menolak kesahihan riwayat tersebut dengan mengajukan beberapa alasan, di antaranya yaitu silsilah perawi pada riwayat peristiwa tersebut adalah orang-orang yang tidak bisa ditelusuri identitasnya.

Masih menurut Ali Dawani, peristiwa nazar Abdul Mutthalib merupakan cerita legenda buatan dinasti bani Umayyah dan riwayat buatan ini baru muncul pada masa dinasti bani Umayyah, untuk menunjukkan Abdul Muthalib termasuk seorang yang musyrik, sehingga mereka bisa menjatuhkan posisi Imam Ali bin Abi Thalib as yang memiliki nasab dan silsilah yang terhormat.

Iman Abdul Muthalib

Menurut riwayat yang kuat, Abdul Muthalib menganut agama hanif (Agama yang sesuai dengan fitrah dan perintah para Nabi dari Adam as sampai Muhammad saw) dan tidak pernah menyembah berhala sekalipun dalam episode hidupnya.

Salah seorang sejarahwan abad ketiga Hijriyah, Mas’udi setelah melakukan penelitian terhadap berbagai pendapat yang muncul berkenaan dengan iman dan agama Abdul Muthalib berpendapat, bahwa Abdul Muthalib tidak pernah menyembah berhala dan menganut agama yang hanif (lurus).

Syekh Shaduq yang menukilkan riwayat dari Imam Shadiq as menyatakan bahwa Nabiullah Muhammad saw pernah berkata kepada Imam Ali as: Abdul Muthalib tidak pernah sekalipun bermain judi dan menyembah berhala. Selanjutnya ia berkata, “Aku memegang teguh agama nenek moyangku, Ibrahim as.”

Syekh Shaduq dalam kitab al-Khishāl menuliskan riwayat dari Imam Shadiq as yang menyebutkan Nabi Muhammad saw berkata kepada Imam Ali as, “Abdul Muthalib memiliki lima sunnah yang diberlakukannya pada masa jahiliyah dan kelima sunah tersebut tetap diberlakukan di masa Islam. Lima sunah itu adalah mengharamkan istri ayah untuk dinikahi anaknya dan Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu.”

Ia menemukan harta yang terpendam (maksudnya adalah harta yang ditemukannya pada saat penggalian sumur Zam-zam) dan mengeluarkan khumusnya. Allah swt berfirman mengenai hal tersebut, “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah…”

Sewaktu sumur Zam-zam bisa kembali dimanfaatkan, Abdul Muthalib menyebutnya سقایة الحاج (tempat minum jemaah haji) yang diperuntukkan untuk menjamu jemaah haji. Mengenai pelayanan terhadap jemaah haji yang dilakukan Abdul Muthalib, Allah Swt berfirman, “Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjid al-Haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah?”

Abdul Muthalib menetapkan aturan diyah (denda) terhadap pembunuhan satu jiwa manusia sebanyak seratus ekor unta, dan hukum itu pula yang berlakukan oleh Allah Swt dalam agama Islam.

Ketika melakukan putaran saat tawaf di Kakbah yang dilakukan kaum Quraisy, sebelumnya tidak memiliki ketentuan jumlah, lalu oleh Abdul Muthalib ditetapkan ketentuan, saat tawaf yang dilakukan adalah mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh putaran. Aturan tawaf tujuh kali putaran itu pula yang kemudian hari ditetapkan dalam aturan fikih haji dalam Islam.

Ya’qubi menulis, “Abdul Muthalib menjadi peletak batu pertama sunnah-sunnah yang kemudian dijalankan dan ditetapkan oleh Rasulullah saw yang mendapat penegasan dengan turunnya ayat-ayat Ilahi yang berkenaan dengan hal tersebut. Di antaranya kesetiaan pada nazar (janji), penetapan 100 ekor unta sebagai pembayaran diyah, pengharaman pernikahan dengan mahram, pelarangan memasuki rumah melalui atas atap, memotong tangan pencuri, pelarangan membunuh anak perempuan, mubahalah, pengharaman minuman keras, pengharaman zina dan pemberlakukan hukum rajam untuk pelakunya, pengharaman mengundi/judi, melarang tawaf dengan telanjang, penghormatan terhadap tamu, pengeluaran ongkos ibadah haji dari harta yang halal dan layak, memuliakan bulan-bulan haram dan pelarangan untuk berbuat riya dan berlaku nifak.”

Wafat dan Keturunan

Menurut sumber yang masyhur, Abdul Muthalib meninggal dunia di saat Nabi Muhammad saw berusia 8 tahun. Sejarawan berbeda pendapat mengenai usia Abdul Mutthalib saat wafatnya, ada yang berpendapat 82 tahun, 108 tahun dan 140 tahun.

Disebutkan, sesaat sebelum meninggalnya, Abdul Mutthalib mengumpulkan anak-anak perempuannya dan berkata, “Sebelum saya wafat, saya menginginkan kalian menangis untukku, bacakanlah syair kesedihan, sehingga kalian bisa mengatakan apa yang kalian hendak katakan setelah aku meninggal.”

Seketika itu pula, anak-anak perempuan Abdul Mutthalib menangisinya dan membacakan sajak-sajak kepiluan. Dinukilkan dari Ummu Aiman, yang berkata, “Muhammad mendatangi jenazah Abdul Mutthalib dan kemudian menangis.” Jenazah Abdul Mutthalib dibawa ke Hujun dan dimakamkan di sisi kakeknya, Qushay bin Kilab.

Diriwayatkan Abdul Mutthalib memiliki 10 orang putra yang bernama Harits, Abdullah, Zubair, Abu Thalib, Hamzah, Maqum, Abbas, Dharar, Qatsam, Abu Lahab (nama lainnya Abdul ‘Azi) dan Ghaidaq.

Ia juga memiliki enam anak perempuan yang bernama: Atikah, Shafiyah, Amimah, Barah, Urwa dan Ummu Hakim. Di antara paman Rasulullah hanya Abu Thalib, Hamzah dan Abbas yang menerima dakwah Rasulullah saw dan memeluk agama Islam, begitupun dari kalangan bibinya, hanya Shafiyah dan Urwa. (*)

Sumber: Wikishia

Berita
Lainnya