Tahrir al-Sham bukan Teroris?

Tahrir al-Sham kini menjadi kelompok yang berpotensi mengganti pemerintahan Bashar al-Assad di Suriah. (Istimewa)

BAINDONESIA.CO – Menyusul peristiwa yang berlangsung cepat di Suriah, yang disertai dengan pergantian rezim yang berkuasa di negara ini dan meningkatnya kekuatan koalisi kelompok teroris dan penentang Bashar al-Assad, banyak ketidakpastian telah diciptakan tentang masa depan negara ini.

Pertanyaan yang serius mengemuka akhir-akhir ini adalah mengenai pendekatan kelompok teroris Tahrir al-Sham, kelompok yang telah mempunyai pengalaman panjang dan beberapa tahun dalam melakukan aksi teroris. Peristiwa yang tidak bisa dengan mudah dihapuskan dari benak opini masyarakat kawasan dan khususnya masyarakat Suriah seiring berjalannya waktu.

Salah satu hal yang mengemuka saat ini adalah upaya pemimpin Tahrir al-Sham Abu Muhammad Al-Jolani untuk menghadirkan citra damai dan positif tentang dirinya dan gerakan di bawah komandonya, yang jauh dari masa lalu kelompok ini.

Beberapa hari yang lalu, saat kedatangan pasukannya di kota Hama, al-Jolani menekankan dalam pesan video bahwa penguasaan Hama akan menjadi operasi dengan kelembutan dan kebaikan serta jauh dari balas dendam.

Ia mendengarkan perkataan Perdana Menteri Irak Muhammad Shia al-Sudani saat mengumumkan posisi lain, yang gambarnya juga dipublikasikan di media. Setelah itu, dia mulai berbicara dan mengumumkan posisinya mengenai pendekatan Tahrir al-Sham terhadap perkembangan di Irak dan menekankan bahwa kelompok ini tidak melakukan pendekatan agresif terhadap Irak.

Beberapa waktu kemudian, pemimpin Tahrir al-Sham muncul di monitor dalam percakapan khusus dengan reporter CNN. Selama percakapan ini, ia mengumumkan pendekatan interaktifnya dengan Republik Islam Iran dan menekankan bahwa dia menginginkan hubungan yang baik antara Suriah dan negara-negara tetangganya di masa depan.

Bahkan setelah kehadiran sekutunya di Damaskus dan berakhirnya rezim berkuasa di Suriah, ia mengambil pendekatan berbeda dan menekankan bahwa Perdana Menteri Suriah akan terus mengurus urusan negaranya sampai pemerintahan baru terbentuk.

Posisinya ini ditegaskan oleh pernyataan Perdana Menteri Suriah. Dia menekankan bahwa teroris dan oposisi sedang mencoba membentuk pemerintahan dan ia akan berinteraksi dengan pemerintahan baru.

Namun dalam situasi ini, banyak pertanyaan yang muncul, apakah kelompok teroris dengan catatan aksinya dalam beberapa tahun terakhir bisa mengambil alih kedaulatan Suriah? Apakah kelompok ini tidak bisa dianggap teroris jika dilihat dari sejarah dan tindakan yang mereka lakukan? Bisakah kelompok teroris menjadi pemain resmi di suatu negara dengan mengubah beberapa pendekatannya?

Pembentukan Tahrir al-Sham

Di sini, untuk mengkaji masalah ini secara mendetail, kita harus fokus pada tokoh utama Tahrir al-Sham. Abu Muhammad Al-Jolani, yang bernama asli Ahmad Al-Shara, lahir pada tahun 1982 di Riyadh, Arab Saudi. Konon nama panggilannya diambil dari nama keluarganya yang berasal dari Golan Suriah.

Al-Jolani memulai aktivitas terorisnya dengan bergabung dengan Al-Qaeda pada tahun 2000. Pada tahun 2003, setelah beberapa tahun beraktivitas, ia bergabung dengan kelompok bernama Al-Mujahideen, yang merupakan salah satu cabang pembantu kelompok teroris Al-Qaeda di Irak.

Al-Jolani ditangkap oleh Amerika Serikat (AS) di Irak pada tahun 2006 dan dibebaskan pada tahun 2010. Kebebasan yang dirasakannya setelah ia bergabung dengan gerakan teroris di Suriah pada tahun 2011 menunjukkan peran AS yang jelas dan tidak menyenangkan dalam pembangunan di kawasan ini, terutama dalam melawan poros perlawanan.

Pada tahun 2011, Al-Jolani bekerja sebagai perwakilan pemimpin ISIS Abu Bakr al-Baghdadi di Irak, dan setelah itu ia membentuk front teroris Al-Nusra. Namun pada tahun 2013, setelah memisahkan diri dari ISIS, ia kembali berjanji setia kepada pemimpin Al-Qaeda.

Pada tahun 2016, saat mengumumkan pembebasannya dari Al-Qaeda, ia mendirikan kelompok Fatah al-Sham dan kemudian mengubah namanya menjadi Tahrir al-Sham pada tahun 2017. Pada tahun-tahun menjelang perkembangan terkini di Suriah yang dipicu oleh dukungan Ankara, kelompok teroris ini berada dalam situasi gencatan senjata dengan pemerintahan Assad dengan mediasi Rusia.

Dengan berkuasanya kelompok teroris Tahrir al-Sham di Suriah dalam beberapa hari terakhir dan jatuhnya Damaskus, negara-negara di kawasan ini menghadapi kenyataan baru di dekat perbatasan mereka.

Dengan kedatangan pemimpin kelompok teroris Tahrir al-Sham di Damaskus, yang berarti formalisasi kendali Tahrir al-Sham atas urusan ibu kota Suriah, dalam situasi baru ini, negara mana pun yang ingin menjalin hubungan dengan Suriah harus berinteraksi dengan grup atau kelompok ini.

Tentu saja, dalam situasi ini, penggunaan kata-kata seperti kelompok teroris atau kelompok oposisi atau oposisi bersenjata untuk menyebut kelompok tersebut menjadi suatu masalah.

Bangun Wajah Baru

Kelompok Tahrir al-Sham, dengan preseden menyebutkan, jika ingin membentuk pemerintahan di Suriah, maka harus menjauhkan diri dari masa lalu kelamnya dalam melakukan aksi teroris dan menerapkan pendekatan baru dalam praktiknya.

Dalam situasi saat ini, kelompok tersebut merupakan faksi yang mengaku hadir dalam masa depan politik Suriah, dan jelas jika ada keinginan untuk diterima oleh negara-negara di kawasan dan juga untuk mendapatkan legitimasi internasional, maka kehadirannya dari semua kelompok dan minoritas di Suriah, bahkan tidak menghormati kedua belah pihak dan melibatkan mereka dalam proses kekuasaan.

Tentu saja, perkembangan terkini di Suriah juga dengan jelas menunjukkan bahwa Tahrir al-Sham tidak akan mampu melakukan perubahan tanpa kehadiran arus lain, dan berdasarkan hal tersebut, masa depan Suriah pun harus sejalan dengan bergerak menuju pemerintahan koalisi dengan kehadiran seluruh aliran penting dan berpengaruh di Suriah.

Kesimpulan

Nampaknya dalam situasi saat ini, para pemimpin Tahrir al-Sham dan khususnya Abu Muhammad Al-Jolani dihadapkan pada dilema yang sangat penting dan menentukan, kelompok ini bisa tetap menjadi kelompok teroris belaka karena sejarah kelamnya, atau dengan praktik penjarakan jarak jauh.

Dengan tindakan-tindakannya di masa lalu, berdasarkan pendekatan yang telah diamati dalam beberapa hari terakhir dan telah diamati dalam interaksi mereka dengan isu-isu regional dan kelompok Suriah lainnya juga terlihat mulai bergerak menuju pembentukan pemerintahan koalisi, dengan mempertimbangkan kepentingan semua kelompok.

Sebuah jalan yang awalnya, meskipun sangat penting, namun mempertahankannya tampaknya jauh lebih penting untuk menjamin masa depan Suriah. Faktanya, dalam situasi inilah dunia dapat mengakui Tahrir al-Sham dan pemimpinnya sebagai pemain yang berupaya untuk memerintah dan bukan kekacauan dan aktivitas teroris. (*)

Sumber: Mehrnews.com