Kesederhanaan Imam Ali Khamenei

Sayid Ali Khamenei. (Kompas)

BAINDONESIA.CO – Saya sebutkan walau sedikit, tentang kesetiaan dan peranan istri saya dalam kehidupan saya, karena itu dia adalah:

Pertama, dia selalu tenang dan semangat keagamaannya tinggi. Saya tidak pernah melihat satu hari pun ada rasa ketakutan, kelemahan, atau keletihan padanya meskipun dia menghadapi berbagai kepahitan dalam rumah kami akibat sasaran serangan polisi. Meskipun saya ditangkap beberapa kali di depan matanya. Bahkan, sekalipun saya dipukuli di depannya pada tengah malam ketika rumah saya digerebek untuk menangkap saya, seperti yang akan saya Sebutkan nanti.

Ia mengunjungi saya di penjara dengan semangat yang tinggi dan tegar. Selama dia mengunjungi saya di penjara, saya merasakan kepercayaan diri saya bangkit dan ketenangan dalam jiwa. Tidak pernah terjadi, selama saya dipenjara, bahwa dia memberitahu saya tentang berita yang mengganggu saya, dan saya tidak ingat apakah dia pernah memberitahu saya, misalnya, tentang anak yang sakit atau sesuatu yang buruk bagi saya terkait keluarga dan orang tua.

Kedua, kesabarannya yang luar biasa dalam menanggung kesulitan hidup sebelum revolusi dan tetap hidup dalam kesederhanaan setelah kemenangan revolusi Islam.

Rumah kami dulu dan juga sekarang–segala puji bagi Allah–jauh sekali dari apa yang biasanya ada di rumah-rumah pada umumnya berupa perabotan yang berlebihan dan hiasan. Istri memiliki andil penuh dan peran yang paling besar di dalam rumah. Memang benar saya memulai hidup saya dengan cara ini dan saya membimbing istri saya ke arah ini. Saya membangkitkan semangat ini dalam dirinya akan tetapi, saya dapat mengatakan dengan sejujurnya bahwa dia jauh mendahului saya dalam hal ini.

Dalam benak saya, ada banyak gambaran tentang kezuhudan perempuan saleh ini dan sebagainya tidak baik disebutkan di sini. Beberapa hal di antaranya yang dapat disebutkan adalah bahwa dia tidak pernah meminta kepada saya untuk dibelikan pakaian. Sebaliknya, dia pernah mengingatkan saya tentang kebutuhan keluarga yang mendesak akan pakaian dan dia pergi sendiri untuk membelinya.

Ia pernah memiliki perhiasan pemberian dari orang tuanya dan hadiah dari kerabatnya lalu ia menjual semuanya, sedangkan uannya ia infakkan di jalan Allah Swt. Ia sekarang tidak memiliki perhiasan sedikit pun. Bahkan cincin biasa sekalipun.

Saya ingat satu kejadian saat dia menjual perhiasan pada musim dingin pada suatu tahun ketika cuaca sangat dingin di kota Masyhad dan orang-orang membeli bahan bakar pemanas. Pada waktu itu arang sebagai bahan bakar bentuknya khas.

Pada saat-saat seperti ini, saya biasa dikunjungi oleh sejumlah orang beriman dan mereka menitipkan sejumlah uang kepada saya untuk membeli arang dan membagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Saya biasanya membeli arang itu dari toko arang, dan saya menyimpan apa yang saya beli itu di sana, lalu saya memberikan kupon kepada orang-orang yang membutuhkan agar mengambil arang di toko tersebut.

Pada tahun itu pemilik uang tidak mendatangi saya. Justru yang datang kepada saya adalah orang-orang miskin yang biasanya mengetuk pintu rumah para ulama pada hari-hari seperti itu untuk meminta arang. Namun sayang, mereka kembali dari rumah saya dengan perasaan kecewa. Hal itu membuat saya sangat bersedih.

Istri saya melihat kejadian tersebut, sehingga dia menyarankan kepada saya agar saya menjualkan gelang miliknya yang merupakan pemberian dari kakaknya kepadanya pada saat kelahiran salah satu putranya. Saya menolak, tetapi dia terus mendesak. saya mengambil gelang itu dan berniat menjualnya dengan harga yang setinggi mungkin.

Toko emas biasanya membeli emas berdasarkan beratnya saja dan tidak menghitung biaya untuk penempaannya. Tiba-tiba datanglah tetangga dan teman kami ke rumah.

Saya menyebutkan cerita itu kepadanya sehingga dia terdorong untuk menjualkan gelang itu dengan harga setinggi mungkin. Dia pergi dan menjualnya seharga seribu lebih beberapa ratus toman dan berkata, “Saya juga menambahkan sejumlah yang sama padanya.”

Dengan demikian, saya dapat mengumpulkan jumlah yang cukup banyak, yang saya gunakan untuk membeli arang. Kekhawatiran keluarga pun hilang: “Dan ayah mereka dengan kegembiraannya adalah ayah bagi tamu mereka, dan ibu dengan keceriaannya adalah ibu.” Demikian seperti yang diriwayatkan dari Al-Huthai’ah.

Perabot Rumah

Terbebas dari hal-hal yang tidak terlalu dibutuhkan dalam kehidupan ini memiliki dampak yang sangat besar terhadap hidup saya karena tidak ada yang memperbudak manusia kecuali hal-hal yang berada di luar kebutuhannya. Benarlah kata penyair: “Keutamaan hidup menjadi sempit, tipis, dan dicuri dari tengkuk manusia.”

Tidak ada salahnya kalau saya kemukakan kepada Anda bahwa Syekh Rabbani Amlasyi adalah teman baik saya semasa belajar di Hauszah Ilmiah di Qom selama dua tahun. Ia pernah datang ke Masyhad pada suatu musim panas yang pada saat itu saya tinggal di kota tersebut.

Saya punya rumah tetapi pada musim panas itu saya meninggalkan rumah selama beberapa minggu. Saya tinggal di tempat peristirahatan musim panas, tidak jauh dari kota itu. Kehidupan di tempat-tempat peristirahatan di Masyhad sederhana dan tidak memerlukan biaya besar. Para pelajar ilmu-ilmu agama pada musim panas biasanya dapat tinggal di rumah-rumah atau kamar-kamar di tempat peristirahatan tersebut dengan biaya murah bahkan lebih murah daripada biaya hidup di kota.

Saya mengatakan kepada Syekh Rabbani, “Anda dapat tinggal di rumah saya selama satu minggu kecuali dua hari di antaranya.” Saya telah mengkhususkan dua hari itu untuk mengadakan majelis bersama anak-anak muda yang datang dari beberapa penjuru Iran. Rumah itu penuh dengan mereka dari pagi hingga siang hari. Saya menyerahkan kunci rumah kepada Syekh Rabbani.

Beberapa hari kemudian, dia menemui saya. Setelah dia mengucapkan terima kasih kepada saya, dia berkata, “Saya kira, rumah Anda dilengkapi dengan perabotan. Saya tidak tahu bahwa Anda mengosongkan perabotannya dan membawanya ke tempat peristirahatan musim panas. Kalau saya tahu begitu, saya akan pergi ke hotel.”

Syekh melanjutkan kata-katanya dengan nada celaan ihwal tidak adanya perabotan rumah. Tentu dia berkata begitu dengan logat yang menunjukkan hubungan persahabatan yang erat antara dia dan saya.

Saya tahu ceritanya dan saya katakan kepadanya, “Saya tidak membawa apa pun dari rumah selain beberapa helai selimut, sejumlah kecil piring, sebuah cangkir, dan beberapa buah sendok.”

Ia menatap saya dengan keheranan dan takjub, lalu dia berkata, “Apa yang Anda katakan?”

Saya berkata, “Ya, inilah yang saya miliki. Semua perabotan Kami adalah apa yang Anda temukan di rumah kami sekarang. saya tidak memiliki perabotan lebih dari itu.”

Wajah Syekh Rabbani tampak muram dan dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub, diliputi penyesalan atas kesalahannya, dan mengucapkan kata-kata kesedihan yang masih saya ingat. (*)

Sumber: Dikutip dari Buku Memoar Imam Ali Khamenei: Catatan di Balik Penjara

Baca Juga: