Kukar Punya Silpa Fantastis, Haidir Uraikan Solusinya

Pengamat ekonomi dan politik Kukar, Haidir. (Dok. Berita Alternatif)

BAINDONESIA.CO – Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa) menjadi isu yang kerap muncul di akhir periode pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kukar. Pasalnya, tahun lalu Silpa Kukar bahkan mencapai Rp 2,8 triliun.

Berikut wawancara lengkap kami pada Jumat (8/9/2023) pagi dengan pengamat ekonomi dan politik dari Kukar, Haidir, terkait penyebab serta solusi untuk memecahkan masalah Silpa di Kukar.

Apa saja penyebab Silpa yang mencapai triliunan rupiah di Kukar?

Memang tidak bisa dipungkiri hampir seluruh daerah itu pasti ada yang namanya Silpa. Cuman memang masing-masing daerah itu menghadapi persoalan Silpa dalam persentase-persentase yang berbeda.

Bahwa setiap rupiah, setiap pendapatan daerah itu, harus diupayakan untuk dianggarkan dalam bentuk kegiatan. Ketika sudah dianggarkan dalam bentuk kegiatan, maka akan ada upaya-upaya untuk menyerap anggaran itu sendiri.

Ketika kemampuan daerah terbatas, maka akan ada konsekuensi yang dihadapi daerah, termasuk salah satunya terkait sisa anggaran yang disebut dengan Silpa. Itu bisa terjadi karena apa? Karena misalnya bahwa penganggaran itu dilakukan dalam pagu yang besar, kemudian ketika dilelang, maka akan ada yang namanya penawaran dari pihak pengusaha.

Ketika pengusaha mau mengajukan penawaran tender proyek, mereka akan bersaing dalam upaya untuk bagaimana merasionalisasi anggaran yang diajukan, yang dicantumkan dalam APBD, dalam angka yang dinilai mereka cukup rasional, sehingga nanti ada anggaran kegiatan, misalnya pembangunan drainase, anggarannya anggaplah Rp 10,3 miliar misalnya, maka ketika mereka mengajukan penawaran lelang tender itu, akan ada rasionalisasi angka. Bisa angkanya Rp 10 miliar atau di bawah itu. Sisa dari anggaran di APBD dikurangi penawaran pengusaha itulah yang akan menjadi Silpa.

Ada pula Silpa itu terjadi karena persoalan anggaran tidak sempat dikerjakan, baik tidak sempat dilelang, atau pernah dilelang tapi tidak ada yang menawar. Kemudian akhirnya pekerjaan itu tidak bisa dijalankan.

Ada pula pekerjaan-pekerjaan di beberapa dinas atau instansi yang merupakan kegiatan rutin. Ketika dijalankan ternyata masih ada sisa anggaran yang tidak sempat dibelanjakan oleh dinas atau instansi dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat rutin.

Inilah yang menjadi akumulasi dari Silpa. Nah, rasionalisasi Silpa itu sendiri akan bisa dianggap sebagai sesuatu yang lumrah ketika persentasenya kecil dari jumlah anggaran yang diajukan. Kemudian ketika ada rasionalisasi, maka rasionalisasi dari penawaran maupun proses pembelanjaan nanti angkanya kecil; persentasenya kecil.

Nah, yang buruk itu adalah ketika anggaran dianggarkan tetapi tidak sempat untuk dibelanjakan. Ya banyak faktor penyebabnya. Misalnya force majeure. Kemudian yang lebih buruk lagi adalah persoalannya ketika kemampuan untuk mengadministrasikan itu terbatas.

Makanya saya lihat Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur itu ada kebijakan Gubernur untuk merangkum seluruh anggaran-anggaran dalam pecahan kecil, bentuknya penunjukan langsung pihak ketiga yang akan mengerjakan. Oleh Pemerintah Provinsi, angka-angka kecil itu diakumulasi menjadi pekerjaan besar. Dijadikan pekerjaan dalam satu kecamatan atau satu kabupaten/kota. Angka anggaran Rp 100 juta atau Rp 200 juta diakumulasikan sampai Rp 2 miliar, dikelompokkan dalam nama kegiatan satu kecamatan atau kabupaten/kota, baru dilelang. Ada upaya begitu.

Supaya apa? Supaya administrasinya bisa berjalan dan dipenuhi secara maksimal. Ketika puluhan triliun anggaran di Provinsi itu dibuat dalam bentuk kegiatan, apalagi dipecah dalam kegiatan-kegiatan ratusan juta atau bahkan kurang dari angka itu, maka puluhan ribu lebih administrasi yang perlu disiapkan oleh pihak Pemerintah Provinsi. Apalagi di waktu yang sempit dan terbatas, tidak akan mampu untuk dikaver oleh pihak administrasi Provinsi, terutama dinas-dinas atau SKPD, tidak akan sanggup mengkaver semua itu.

Di daerah juga dapat menghadapi hal demikian. Tetapi juga perlu menjadi perhatian serius, di luar persoalan yang secara formal tadi adalah hal yang lumrah, ada indikasi lain bahwa Silpa itu terjadi karena persoalan praktik penyimpangan penyelenggaraan pelaksanaan pekerjaan. Di mana tawar-menawar fee proyek sering menyebabkan keterlambatan proses lelang dan pekerjaan proyek. Bahkan tidak sedikit pekerjaan yang batal dilaksanakan karena alotnya tawar-menawar fee.  Misalnya ada proyek A dilelang—kemudian biasa dan masyhur sekali kita mendengar itu, silakan diperiksa kepada pihak yudikatif yang menangani persoalan itu—ada istilah fee proyek dan segala macam. Mal praktik demikian banyak dan marak masuk ke ranah hukum dan diadili oleh pihak hukum.

Nah, ketika tidak terjadi deal-deal fee, maka proyek itu akan bisa terlambat prosesnya bahkan tidak sedikit yang batal dikerjakan meskipun sudah masuk dalam batang tubuh APBD. Cenderung mereka tidak akan lelang proyek. Karena tidak ada kata sepakat antara pihak pengusaha dengan pihak oknum yang menangani urusan itu.

Ini yang sering menjadi persoalan krusial sehingga menimbulkan Silpa-Silpa yang besar. Mau tidak mau persoalan ini harus juga menjadi perhatian semua pihak bahwa persoalan Silpa itu harus kita tanggulangi secara bersama.

Apa solusinya?

Yang pertama tentu kemampuan setiap aparat pemerintahan, baik pusat, provinsi, maupun daerah, bagaimana membuat anggaran itu serasional mungkin, agar angka-angka yang ditampilkan dalam APBD itu nanti tidak lagi banyak harus dirasionalisasi oleh pengusaha yang ingin mengambil pekerjaan itu melalui penunjukan langsung maupun lelang tender. Rasionalisasi jangan sampai meninggalkan Silpa yang besar.

Bayangkan jika ada proyek misalnya anggarannya Rp 40 miliar, kemudian ditawar oleh pihak pengusaha sampai Rp 33 miliar. Berarti dari Rp 40 miliar itu ada sampai Rp 7 miliar yang harus menjadi Silpa. Angka sebesar itu adalah sebagai bagian yang tidak dapat dibelanjakan. Karena besar kecilnya angka rasionalisasi dari pengusaha untuk mengajukan tender, tergantung kecermatan pihak pmerintah dalam menyusun angka rasionalisasi harga yang menopang setiap pekerjaan proyek.

Artinya, kemampuan untuk mendetailkan seluruh harga satuan dalam setiap pekerjaan proyek maupun kegiatan dalam APBD itu harus sudah kuat dan cermat. Dan ini lebih banyak menjadi tanggung jawab dan tugas SKPD, kemudian Bappeda dan Dispenda.

Kedua, bahwa proses administrasi pekerjaan proyek kegiatan pemerintah itu hendaknya disiapkan sejak awal. Ketika SKPD atau perangkat daerah membuat perencanaan anggaran belanja di dinasnya atau di kantornya masing-masing, itu sudah harus disiapkan dengan dokumen administrasi.

Walaupun nanti mungkin ada konsekuensi pekerjaan itu akan tertolak, tidak disetujui atau terkena rasionalisasi, enggak apa-apa. Tapi dokumen administrasinya sudah dibuat soft file. Sehingga ketika proyek itu disetujui, itu sudah tinggal print out saja untuk diajukan dilelang dan dapat langsung ditawarkan kepada pihak ketiga.

Berapapun nilai pekerjaannya, tapi ketika sudah masuk ke dalam anggaran, masing-masing bidang yang bertanggung jawab mengurusi pekerjaan itu tidak lagi dilambatkan oleh urusan dokumen administrasinya, karena sudah disiapkan dokumen-dokumen soft file-nya di dalam file-file komputernya. Ketika itu nanti disetujui, bisa langsung di-print out. Kalaupun tidak disetuju atau dibatalkan oleh sistem penganggaran, maka tidak ada masalah yang krusial.

Jadi, ketika setiap satu pekerjaan akan diajukan, maka siapkan administrasi soft file-nya. Tidak perlu menunggu usulan pekerjaan itu disetujui baru dibuatkan dokumen administrasinya. Sangat mungkin pekerjaan yang perlu penambahan dokumen setelah disetujui. Tidak masalah itu, diadaptasi saja. Tapi kan enggak banyak lagi dokumen yang perlu disiapkan. Dokumen-dokumen lainnya sudah siap sejak akan diajukan, sehingga waktu, ketepatan, kemudian prosesnya tidak terlambat.

Ketiga, memang harus ada upaya pengetatan, baik yudikatif maupun kesadaran kolektif dari pihak pemerintah untuk bagaimana menghilangkan mal-praktik tentang persoalan-persoalan proyek. Jangan sampai nanti Silpa terjadi karena terlalu alot negosiasi fee proyek, akhirnya pekerjaan itu gagal dilelang dan gagal dikerjakan.

Kemudian juga perlu didorong kesadaran bahwa setiap kegiatan yang telah dianggarkan dan masuk dalam batang tubuh APBD wajib dikerjakan. Setiap kegiatan yang sudah masuk dalam batang tubuh APBD merupakan amanah Perda, oleh karenanya ada tanggung jawab hukum untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, pemerintah daerah sedapat mungkin jangan menganggarkan kegiatan yang kiranya tidak sanggup untuk dikerjakan, tidak punya potensi dikerjakan oleh pihak ketiga.

Perangkat daerah itu sendiri di luar hal-hal yang bersifat rutinitas, hampir tidak ada, atau kecil sekali persentase mampu secara langsung untuk melaksanakan banyak kegiatan yang selama ini ada di APBD, tanpa melibatkan pihak ketiga. Yang dikerjakan langsung oleh kantor sedikit saja. Sehingga mau tidak mau bagaimana membuat program-program yang akan mampu dijangkau dan dikerjakan oleh pihak ketiga.

Kemudian juga kemampuan menginventarisir persoalan-persoalan yang ada di daerah. Kita seolah kehilangan atau membuat pekerjaan-pekerjaan yang tidak punya kemanfaatan maksimal, padahal banyak persoalan lain yang harus dikaver.

Misal pada tahun 2022, daerah menyisakan Silpa sampai Rp 2,8 triliun. Seakan kita kehabisan masalah yang perlu dibenahi dan dibiayai. Padahal masalah infrastruktur kita banyak sekali, jalan-jalan dalam daerah banyak yang rusak parah dan perlu dibiayai perbaikannya. Banyak orang bingung bagaimana angka Silpa sedemikian besar, sementara fasilitas vital seperti jalan, jembatan, fasilitas pendidikan masih banyak yang rusak. Fasilitas kesehatan seperti Puskesmas masih belum memadai dan butuh upgrade untuk memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat.

Belum lagi program ekonomi yang masih bisa pembiayaan di tiap kecamatan maupun desa bahkan di RT oleh pemerintah daerah. Jangan sampai nanti kita seolah-olah kekurangan program dengan banyaknya finansial atau banyaknya pendapatan daerah ini.

Nah, apalagi sekarang di APBD Perubahan Kabupaten Kutai Kartanegara sampai Rp 11,8 triliun. Saya enggak yakin tidak menyisakan Silpa yang besar. Kalau Silpa pasti. Saya berani meyakinkan. Dan saya menduga angkanya itu yang akan fantastis.

Yang APBD kita Rp 5 triliun bahkan Rp 4 triliun saja kita masih Silpa ratusan miliar. Apalagi yang sampai belasan triliun itu. Nah, inilah yang harus menjadi perhatian daerah.

Beberapa solusi yang coba saya tawarkan itu hendaknya menjadi masukan bagi daerah untuk bagaimana mengatasi persoalan Silpa.

Bukankah Silpa masih bisa digunakan?

Ya bisa saja, dan memang Silpa itu sering diyakini oleh Pemkab dalam penyampaian laporan pertanggungjawaban, kemudian pengajuan KUA-PPAS, bahkan dalam APBD, itu sebagai bagian pendapatan daerah. Dalam artian bahwa itu masih bisa digunakan, tetapi ketika itu berulang menghasilkan Silpa, sama saja uang itu tidak pernah bisa kita belanjakan. Apalagi angkanya selalu cenderung naik. Sayang kan.

Ya, artinya orang akan mengevaluasi, hanya segini kemampuan daerah. Nanti ujung-ujungnya ini kemampuan Bupati yang dipertanyakan. Bukan hanya kemampuan SKPD. Yang dianggap wan-prestasi dalam masalah ini pastilah kepala daerah. Akhirnya orang akan melihat ini sebagai kelemahan Bupati, Wakil Bupati, dan legislatif yang tidak mampu mengelola APBD baik dalam membuat rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah, sampai dinilai lemah dalam menjalankan pelaksanaan APBD. Itu secara politis tentu tidak menguntungkan bagi pihak kepala daerah, wakil kepala daerah, maupun anggota legislatif. Mereka dianggap kurang produktif dalam melakukan proses penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan APBD di daerah.

Hal lain juga bisa menjadi indikasi adanya faktor tidak sinkronnya antara pemikiran legislatif maupun eksekutif dalam persoalan APBD. Biasanya akan ada tarik menarik kepentingan, program, dan seterusnya. Pembatasan hak-hak budget kepada anggota legislatif tertentu, pengkhususan pihak-pihak tertentu, kemudian mengabaikan pihak yang lain dalam persoalan budget juga menjadi masalah.

Saya juga bingung ketika ada asumsi lain misalnya bahwa terjadinya Silpa itu karena faktor pemerintah pusat. Ya, kita di daerah harus tahu persoalan apa yang masih menjadi kendala transfer dana dari pusat ke daerah sering terlambat. Pemerintah Pusat pasti menentukan syarat-syarat dan aturan agar proses transfer itu bisa segera dilakukan pihak pusat ke daerah.

Kalau ada syarat aturan yang diinginkan oleh pusat untuk bagaimana memprogres segera, mencairkan segera anggaran itu, itu harus diikuti. Jangan seolah-olah ketika itu buntu, lalu kita katakan itu salah pemerintah pusat. Enggak! Itu kan ada dasar aturannya. Mereka berpegang pada regulasi.

Apa yang menjadi kebijakan-kebijakan strategis yang dilakukan oleh Pusat sehingga seluruh rupiah itu harus dipertanggungjawabkan; harus digunakan sebaik mungkin. Kalau lepas dari koridor aturan itu, maka mereka tidak akan bisa mencairkan anggaran itu.

Pusat meminta bahwa daerah bisa ajukan kegiatan termin berikutnya, asal termin sebelumnya yang sudah ditransfer, sudah ada Lpj-nya. Permintaan demikian saya pikir wajar saja dilakukan oleh Pemerintah Pusat ke daerah, agar tertib terjadi tertib cashflow pemerintahan.

Kita yang harus menyiapkan seluruh pertanggungjawaban itu. Jangan sampai berdasarkan aturan seperti itu, kita menganggap itu sebagai penghambat. Enggak! Itu memang aturan mainnya, sehingga kita yang harus mengadaptasi ketentuan dari perundangan. Itu yang dilaksanakan untuk mengatasi persoalan-persoalan Silpa.

Saya juga perlu menambahkan bahwa pemerintah daerah harus memahami mekanisme penganggaran terhadap beberapa kegiatan yang juga perlu konsep dasarnya. Misalnya kalau kita mau membangun jembatan, maka ada yang namanya program studi kelayakan. Setelah studi kelayakan, ada yang namanya legalitas lahan. Ketika dua hal ini harus mengikuti dua termin waktu selama dua tahun, maka kita harus sadari bahwa pembangunan jembatannya baru bisa dianggarkan pada tahun ketiga. Jangan memaksakan untuk progres kegiatan demikian tanpa mengikuti etape-etape yang disyaratkan oleh aturan yang menghendaki program pendahuluan seperti studi kelayakan dan legalitas lahan yang akan memakan waktu sampai dua kali APBD. Tahapan itu harus diikuti.

Ketika mau membuat planning, kita ada rencana pembangunan jangka panjang, ada rencana pembangunan menengah, itu harus disiapkan. Di situlah kita membuat nanti ‘saya ingin membangun jembatan di arah Pulau Kumala,’ maka proses itu harus dimulai dari tahun pertama, tahun kedua, dan tahun ketiga. Kenapa? Tahun pertama ada studi kelayakannya, tahun kedua ada pengurusan legalitas lahan, tahun ketiga baru kita melakukan proses pembangunannya.

Itu harus dipahami. Jangan karena persoalan seperti itu, pembangunan gagal. Mau memperbaiki jalan, gagal. Mau memperbaiki bendungan, gagal. Kenapa? Karena kita tidak bisa membuat term-term waktu yang sesuai dengan kebutuhan dari pekerjaan utamanya. Itu memang uang negara. Uang negara itu kalau kita letakkan di tanah yang tidak punya status jelas, suatu ketika dibongkar, negara yang rugi. Itu yang harus disadari.

Kemudian, kenapa harus ada studi kelayakan? Karena menghitung tentang nilai ekonomi, nilai strategis, nilai politis, nilai budaya, dan seterusnya, sehingga suatu ketika memang ketika kita bangun, dia memiliki multiplayer effect yang maksimal, memberikan pengaruh yang luas, memberikan dampak yang menyeluruh bagi kepentingan-kepentingan masyarakat dan daerah. Kita harus membuat seperti itu, sehingga jangan sampai Silpa terus terjadi karena faktor-faktor kelemahan ada pada kita sendiri. (fb)

Baca Juga: