Pelapor Dugaan Pelanggaran Pemilu di Kabupaten Bima “Divonis sebagai Penjahat”

Kuasa hukum Samrinda Irawan, Fadhil. (Istimewa)

BAINDONESIA.CO – Seorang dosen yang berasal dari salah satu kampus di Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat Samrin Irawan disebut sebagai “penjahat” setelah melaporkan kasus dugaan pelanggaran Pemilu di daerah tersebut.

Dalam sebuah video yang beredar, seorang komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Bima melontarkan pernyataan itu dalam sidang yang membahas dugaan pelanggaran dalam pesta demokrasi tahun 2024.

Mulanya, Samrin melaporkan salah seorang sekretaris desa di Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima yang diduga melakukan pelanggaran Pemilu.

Dia melayangkan laporan tersebut kepada Centra Penegakan Hukum Terpadu Kabupaten (Gakkumdu) Bima pada 26 Februari 2024 dengan nomor laporan 008/LP/PL/Kab/18.03/II/2024.

Dua hari setelah teregistrasi, laporan itu direspons oleh Centra Gakkumdu Kabupaten Bima. Lembaga tersebut menyebut laporan yang dilayangkan Samrin cacat secara formil.

Kuasa hukum Samrin, Fadhil menyesalkan pernyataan Komisioner Bawaslu Kabupaten Bima yang bernada penghukuman terhadap Samrin.

Dia menegaskan bahwa Komisioner Bawaslu Kabupaten Bima telah memvonis seseorang tanpa proses hukum.

“Sejak kapan lembaga Bawaslu maupun lainnya menetapkan klien kami sebagai tersangka?” tanyanya dengan nada heran saat diwawancarai via telepon seluler oleh wartawan BA Indonesia pada Seni (4/3/2024)

Dia juga menyinggung laporan kliennya yang telah memenuhi syarat formil.

Ia pun menguraikan Pasal 15 ayat (3) Perbawaslu Nomor 7 Tahun 2022, yang menguraikan syarat formil: (a) nama dan alamat pelapor; (b) pihak terlapor; (c) waktu penyampaian laporan tidak melebihi jangka waktu 7 hari sejak diketahui dugaan pelanggaran Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4).

“Jika ditinjau dari laporannya, pihak pelapor telah memenuhi syarat formil,” tegasnya.

Apabila Bawaslu Kabupaten  Bima menemukan cacat formil dalam laporan tersebut, menurut Fadhil, sepatutnya lembaga itu memberikan ruang dan petunjuk kepada pelapor untuk memperbaiki laporannya.

“Sepatutnya lembaga tersebut memberikan ruang dan petunjuk kepada pihak pelapor sebagai mitra dalam memberantas kecurangan Pemilu untuk memperbaiki dan atau melengkapi laporannya,” imbuh dia.

Langkah Bawaslu yang hanya menolak laporan tanpa disertai dalil diibaratkannya lembaga tersebut sebatas “loket” bagi masyarakat untuk mengadu pelanggaran maupun pidana Pemilu.

Padahal, ia menyebut Bawaslu merupakan lembaga yang dibentuk untuk mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu, menerima aduan, menangani kasus pelanggaran administrasi Pemilu, serta pelanggaran pidana Pemilu sesuai peraturan perundang-undangan.

Fadhil menyarankan Bawaslu menghidupkan demokrasi yang bersih dari kecurangan dengan menindak tegas pelaku pelanggaran Pemilu.

“Permasalahan kekurangan laporan yang bersifat cacat formil tidak boleh mengesampingkan inti permasalahannya, yaitu adanya pelanggaran dan pidana Pemilu, apalagi menuduh pelapor sebagai pelaku kejahatan,” tutupnya. (jt/um)

Berita
Lainnya