Oleh: Muhammad Baqir Ash Shadr
Pada level keislaman, umat Islam mengobarkan jihad (perang suci dalam Islam) seutuhnya melawan keterbelakangan dan kemunduran. Dengannya, mereka berusaha untuk bergerak, baik secara politik maupun sosial, menuju kehidupan yang lebih baik, struktur kemasyarakatan yang lebih kokoh, serta kondisi ekonomi yang lebih makmur dan sejahtera.
Setelah melewati serangkaian kegagalan dan keberhasilan, umat Islam akan menjumpai bahwa di sana hanya ada satu jalan yang harus ditempuh dan itu adalah jalan Islam; sekaligus menjumpai bahwa tak ada kerangka yang tepat guna mencari solusi bagi berbagai problema keterbelakangan ekonomi kecuali kerangka sistem ekonomi Islam.
(Kondisi) kemanusiaan pada level kehidupan manusia menjadi keprihatinan abadi yang sangat mendalam dan terombang-ambing di antara dua kecenderungan dunia yang dipenuhi ranjau bom atom, rudal, dan berbagai senjata pemusnah lainnya. Kemanusiaan takkan mampu menyelamatkan dirinya kecuali dengan memasuki satu-satunya pintu langit yang tetap terbuka dan itu adalah Islam.
Dalam pengantar ini, marilah kita mendiskusikannya pada level keislaman.
Dataran Keislaman
Sejak dunia Islam mulai mengenal bangsa Eropa dan manut begitu saja di bawah arahan intelektual dan kepemimpinannya dalam proses peradaban ketimbang meyakini risalah nyatanya (Islam), apalagi menjadikannya sebagai pedoman pokok bagi kehidupan umat manusia, sejak itu pula dunia Islam mulai menerima perannya dalam kehidupan, dalam kerangka pengotak-kotakan negara yang diciptakan bangsa Eropa.
Dalam hal ini, mereka (bangsa Eropa) memilah-milah negara-negara di dunia ke dalam dua kategori berdasarkan tolak ukur kemampuan ekonomi dan potensi produktivitasnya; yakni negara maju dan miskin atau terbelakang. Negara-negara di dunia Islam yang semuanya dimasukkan ke kategori terakhir—sesuai logika bangsa Eropa—akhirnya dipaksa untuk mengakui kepemimpinan negara-negara maju seraya memberi negara-negara maju itu keleluasaan untuk menanamkan semangat mereka dalam diri umat Islam sekaligus—konon—meratakan jalan bagi kemajuan umat.
Dengan cara ini, dunia Islam yang secara ekonomi digolongkan sebagai kumpulan negara miskin, memulai kehidupannya dengan peradaban Barat dan melihat problem dirinya sebagai problem ketertinggalan ekonomi di belakang negara-negara maju yang kemajuan ekonominya telah memberi mereka tongkat kepemimpinan dunia.
Negara-negara maju tersebut lalu mengajari dunia Islam bahwa satu-satunya jalan untuk mengatasi problema ini dan mengejar ketertinggalannya adalah dengan mengadopsi gaya hidup bangsa Eropa yang dianggap sebagai kebiasaan yang prinsipil seraya mengambil langkah-langkah dari kebiasaan ini dalam upaya membangun kemampuan ekonomi yang sempurna dan utuh demi mendongkrak keberadaan negara-negara Islam agar sejajar dengan bangsa Eropa modern.
Subordinasi dunia Islam di bawah kebiasaan bangsa Eropa—sebagai pemimpin peradaban Barat—menampakkan dirinya dalam tiga bentuk berturut-turut. Dan bentuk-bentuk tersebut tetap eksis hingga kini di berbagai belahan dunia Islam.
Pertama, subordinasi politik yang ditandai dengan penguasaan secara langsung negara-negara yang maju secara ekonomi atas negara-negara terbelakang.
Kedua, subordinasi ekonomi yang berjalan seiring dengan kemunculan para penguasa yang mandiri secara politik di negara-negara terbelakang. Subordinasi jenis ini ditandai dengan pemberian keleluasaan yang penuh bagi perekonomian Eropa untuk berkiprah dalam negara-negara tersebut dengan cara yang berbeda-beda; mengeksploitasi sumber daya utama mereka, mengisi kekosongan (modal) mereka dengan kapitalisme asing, dan memonopoli sejumlah alat ekonomi dengan dalih hendak melatih kaum pribumi di berbagai negara agar siap menanggung beban pembangunan ekonomi negaranya.
Ketiga, subordinasi dalam metode yang dipraktikkan orang-orang di dunia Islam dalam banyak percobaan. Melalui eksperimen-eksperimen tersebut, mereka berupaya meraih kemandirian politik dan mengenyahkan dominasi ekonomi bangsa Eropa.
Mereka mulai berpikir untuk bersandar pada kekuatan sendiri dalam mengembangkan perekonomian dan mengatasi keterbelakangan mereka. Bagaimanapun juga, mereka hanya mampu memahami karakteristik persoalan yang diperlihatkan oleh keterbelakangan ekonomi mereka dalam bingkai pemahaman bangsa Eropa tentangnya.
Karena itu, mereka dipaksa untuk memilih metode yang sama dengan yang digunakan bangsa Eropa dalam membangun perekonomian modernnya.
Perbedaan besar dalam sudut pandang muncul sekaitan dengan pengalaman tersebut, yakni saat metode itu dirancang dan diterapkan. Bagaimanapun, perbedaan-perbedaan tersebut kadang kala hanya berkaitan dengan pemilihan bentuk umum dari salah satu metode di antara berbagai bentuk metode yang harus diambil sebagaimana yang telah digunakan bangsa Eropa.
Pilihan atas metode yang dipraktikkan bangsa Eropa modern pada kenyataannya adalah sebuah noktah perjanjian karena itu merupakan ongkos yang harus dibayar atas keyakinan intelektual terhadap peradaban Barat. Semua itu merupakan penentu terhadap salah satu bentuknya yang mengarah pada kegagalan.
Pengalaman terkini dalam hal pembangunan ekonomi di dunia Islam sering kali harus menghadapi dua bentuk lazim pembangunan ekonomi dalam peradaban modern. Kedua bentuk itu adalah ekonomi bebas berbasis kapitalisme dan ekonomi terencana berbasis sosialisme.
Kedua bentuk tersebut telah digunakan sedemikian rupa guna membangun perekonomian Eropa modern. Persoalan yang muncul sekaitan dengan telaah atas tingkat maksimum dari penerapannya di dunia Islam adalah, “Manakah di antara keduanya yang paling cocok dan paling mampu membawa keberhasilan umat Islam dalam perjuangannya melawan keterbelakangan ekonominya serta untuk membangun sebuah perekonomian serba maju di abad ini?”
Kecenderungan paling kuno berbagai negara di dunia Islam adalah memilih bentuk yang pertama, yakni ekonomi bebas berdasarkan prinsip kapitalisme, dalam upaya mengembangkan dan membangun perekonomian internal negaranya.
Ini karena poros kapitalistik perekonomian bangsa Eropa merupakan poros yang paling cepat dibanding poros lainnya dalam menembus dunia Islam dan memecah belah negara-negara di dalamnya seraya menjadikannya sebagai pusat-pusat otoritas (perekonomian Eropa).
Melalui perjuangan politik atas nama umat Islam melawan kolonialisme dan upayanya membebaskan diri dari pengaruh poros kapitalistik, beberapa penguasa di dunia Islam lantas menyimpulkan bahwa antitesis bangsa Eropa terhadap poros kapitalistik adalah poros sosialistik.
Dengan demikian, tumbuh sebuah kecenderungan untuk memilih bentuk kedua guna membangun perekonomian, yakni ekonomi terencana berdasarkan sosialisme. Ini merupakan hasil dari gabungan antara keyakinan orang Eropa sebagai pemimpin negara-negara terbelakang dengan kenyataan seputar pergulatan melawan eksistensi politik kapitalisme.
Kendati demikian, subordinasi negara-negara terbelakang di hadapan negara-negara yang secara ekonomi maju masih tetap membebani mereka dengan keyakinan bahwa kebiasaan bangsa Eropa merupakan prinsip yang maha penting.
Terlebih lagi, sayap kapitalistik dari kebiasaan ini terus-menerus menentang keinginan untuk memerangi kenyataan kolonialisme yang berlangsung. Jadinya, ekonomi sosialistik yang terencana diadopsi sebagai alternatif dari kebiasaan yang dianggap penting dan mendasar.
Kedua kecenderungan ini memiliki bukti-buktinya sendiri guna menjustifikasi sudut pandangnya masing-masing. Kecenderungan pertama acap kali mengedepankan bukti tentang pembangunan besar-besaran yang berhasil dicapai negara-negara Eropa yang kapitalistik serta tingkat produksi dan industrialisasi yang mereka raih sebagai hasil dari penerapan ekonomi bebas yang dijadikan metode pembangunannya.
Sebagai tambahan, negara-negara terbelakang kemungkinan besar akan menemukan jalan pintas dan mampu lebih cepat meraih tingkat perkembangan ekonomi yang diharapkan, asalkan mereka menerapkan cara yang sama serta mengarungi pengalaman yang sama (dengan negara-negara kapitalistik Eropa). Ini karena mereka akan mampu memanfaatkan pengalaman bangsa Eropa dalam hal kapitalisme dan mengerahkan seluruh keahlian bekerja yang telah diperoleh bangsa Eropa selama ratusan tahun.
Sementara, kecenderungan kedua menjelaskan pilihannya terhadap perekonomian terencana berdasarkan sosialisme, ketimbang ekonomi bebas, dengan kenyataan bahwa kendati ekonomi bebas mampu menghasilkan untung besar bagi negara-negara Eropa terkemuka di dunia kapitalistik, kemajuan berkelanjutan dalam bidang teknologi dan produksi, serta kehidupannya terus bertambah makmur, namun ia tak mampu memainkan peran yang sama bagi negara-negara terbelakang dewasa ini.
Ini lantaran negara-negara terbelakang kini sedang menghadapi tantangan ekonomi cukup besar yang dimunculkan oleh tingkat kemajuan pesat yang diraih negara-negara Barat serta diperhadapkan dengan berbagai kemungkinan persaingan tanpa batas pada level perekonomian.
Sementara itu, negara-negara maju tidak sungguh-sungguh menghadapi tantangan besar ini, atau juga diperhadapkan dengan kemungkinan persaingan tersebut, lantaran perekonomian mereka telah tinggal landas; mereka telah melancarkan serangan melawan berbagai kondisi keterbelakangan ekonomi dengan menerapkan ekonomi bebas sebagai cara dan prosedurnya.
Karenanya, negara-negara terbelakang pada hari ini perlu mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya secara cepat dan sistematis, guna menjalankan pembangunan ekonominya dengan cara menerapkan perekonomian terencana berdasarkan prinsip sosialisme.
Dalam menafsirkan kegagalan yang terjadi dalam penerapannya, masing-masing dari kedua kecenderungan tersebut mengedepankan alasan tentang kondisi yang diciptakan kaum kolonial yang dituding telah merintangi berjalannya prosedur pengembangan di daerah tersebut.
Ini karena keduanya—saat dianggap gagal—tak memperkenankan siapa pun mencari alternatif lain dari kedua jenis metode tersebut yang merupakan kebiasaan bangsa Eropa yang telah digunakan baik di Timur maupun di Barat sendiri. Sekalipun demikian, toh masih terdapat metode alternatif lain yang siap pakai dan terus berdenyut baik secara teoretis maupun ideologis dalam kehidupan umat Islam, kendati tak diberi kesempatan untuk diterapkan. Dan itu adalah metode Islam serta sistem ekonomi Islam. (*Cendekiawan Muslim)
Sumber: Buku Muhammad Baqir Ash Shadr berjudul Iqtishaduna