Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Lelaki tua yang kini menjadi sesepuh Mekkah dan penanggung jawab Ka’bah itu tampak lesu dan parasnya melampirkan selembar duka. Ia sedang berdiri seraya mendongakkan wajah dan menengadahkan tangan, menumpahkan keluhnya kepada Tuhan sesembahan Ibrahim dan Ismail tentang derita yang merundung istrinya menjelang persalinan.
Ia agak tersentak saat suara wanita menghampiri kendang telinganya, “Ada apa dengan Anda?“
“Oh, Fatimah sedang mengalami kesulitan untuk melahirkan bayinya,” sahutnya sedikit tersengal mengeluhkan istrinya.
Paras yang biasanya berpendar itu terlihat murung. Cambangnya yang mulai abu-abu lembap bagai jerami diguyur rinai embun. Matanya yang sembab menerawang ke angkasa seakan menanti sebuah jawaban spontan, mengharapkan sebuah keajaiban!
Lelaki itu kembali ke rumahnya dengan langkah tergesa-gesa. Keponakannya yang berusia 30 tahun, yang sejak bayi diangkatnya sebagai anak, menyambut lalu merangkulnya untuk berbagi kesedihan. Ia pun menjulurkan tangan untuk membantu pamannya bangkit dari lantai. Wajah lelaki setengah tua itu sedikit lega melihat putra saudaranya, Abdullah, yang selalu setia menemaninya dalam mengarungi hidup yang serba kurang.
Abu Thalib terlelap akibat letih yang tak tertahankan. Fatimah binti Asad as, istrinya yang hamil tua, bergerak perlahan dan mengendap-endap meninggalkan rumah. Ia mendapat isyarat misterius untuk berjalan menuju Ka’bah.
Ia mengucapkan doa dan harapannya kepada Allah. “Ya Allah aku adalah orang yang beriman kepada-Mu dan ajaran-ajaran para rasul-Mu. Aku mempercayai ucapan kakekku Ibrahim. Maka demi yang membangun Ka’bah, mudahkanlah persalinanku!”
Ketika rintihan Fatimah as membubung ke langit seiring rasa nyeri dalam perutnya yang mencapai puncak, tiba-tiba sebuah peristiwa tak alang kepalang dahsyat terjadi; dinding rumah Tuhan itu merekah lalu secepat kilat menyedot tubuhnya, lalu tertutup kembali seperti sedia kala.
Fatimah as berada dalam Ka’bah selama 3 hari. Pada hari keempat, wanita itu keluar sambil menimang bayi yang memancarkan aura malaikat, dan tak kalah dengan aura yang dipancarkan bayi yang digendong Maryam binti Imran dari balik batang pohon kurma.
Kabar gembira ini menghampiri telinga Abu Thalib. Ia dan keluarganya pun bersuka cita dan bergegas menjemput Fatimah. Di antara mereka, Muhammad SAW adalah lelaki yang tampak paling berbahagia. Bayi sehat itu pun dipeluk lalu dibawanya ke rumah Abu Thalib.
Karena menganggap kelahiran bayi ini sebagai sebuah peristiwa mukjizat dan bayi adalah bingkisan dari langit, maka Abu Thalib pun seakan mendapatkan bisikan dari langit lalu memberinya nama yang unik saat itu, “Ali” as.
Ali as tumbuh mekar seiring dengan bergulirnya roda zaman. Hari demi hari bersusulan, sementara yang tertangkap oleh kedua bola matanya yang bening adalah paras-paras yang menatapnya dengan cinta dan senyum kehangatan. Di tengah orang-orang yang sering dilihat dan memberinya senyuman, sebuah paras teduh telah menyita perhatiannya. Lelaki yang berwajah sejuk bagai telaga itu adalah pemilik nama indah dan agung, Muhammad SAW .
Cinta samawi telah merangkai kedua hati manusia samawi itu dalam potret cinta ilahi yang abadi dan kudus, yang kelak akan diwartakan oleh sejarah.
Akibat krisis ekonomi yang tak terkendali, Abu Thalib yang menanggung banyak anak pun memasuki masa-masa paling sulit dalam hidupnya sebagai kepala rumah tangga. Muhammad SAW mengambil langkah untuk menemui al-Abbas, pamannya yang menjadi pengusaha sukses, dan memintanya untuk turut serta dalam meringankan beban keuangan yang dipikul saudara tertuanya, yang menjadi “wali kota” (pemuka) Mekkah itu dan sesepuh klan Bani Hasyim.
Permohonan Muhammad SAW disambutnya dengan gembira. Al-Abbas menjadikan Ja’far sebagai anak angkat dan Muhammad berjanji akan mengasuh Ali as di rumahnya bersama Khadijah, sang istri.
Sejak saat itulah, Ali as berada dalam curahan kasih dan cinta manusia teragung itu, yang menjadi ayah angkat sekaligus guru dan pembimbingnya. Dalam rumah di kampung bernama Salam itu, Ali as yang beranjak remaja menemukan contoh sempurna dari seorang manusia yang terus ditiru dan diikutinya.
Dalam rumah sederhana itulah, Ali as senantiasa menghirup aroma wangi Risalah dan menangkap cahaya Wahyu yang setiap malam memecah gelap angkasa Makkah.
Muhammad SAW telah membuktikan dirinya kepada generasi mendatang rahasia kesuksesan yang gemilang dalam mendidik dengan mencetak seorang “Ali” as sebagai contoh sempurna seorang kader, murid dan pelanjut. Ali as tidak pernah melepaskan diri dari seluruh kegiatan panutannya itu sekejap pun, laksana bayangan yang senantiasa mengikutinya. Setiap hari ia dituntun Muhammad SAW bertawaf di Ka’bah. Dan setiap tahun Ali as dengan senang hati menemani Muhammad SAW menempuh perjalanan panjang untuk menjalani ritus khusus dan kontemplasi di Gunung Hira, yang hanya bisa menampung dua orang.
Ali as yang kini telah menjadi remaja dan menunjukkan talenta kecerdasan yang luar biasa terus memperhatikan sepak-terjang dan gerak-gerik idolanya saat melakukan perenungan dan penyucian jiwa. Muhammad SAW pun tak henti-hentinya memperhatikan dan mengawasi kemajuan dan perkembangan spiritual serta intelektual anak didiknya itu setiap hari. Muhammad SAW telah memantulkan cahaya samawinya kepada Ali as melalui perubahan perilaku dan kematangan ruhaninya yang kian berpendar. (*Cendekiawan Muslim Indonesia)