BAINDONESIA.CO – Aminah binti Wahab, yang wafat 46 tahun sebelum hijrah atau bertepatan dengan tahun 576 M, adalah ibu Nabi Muhammad saw dan salah seorang pembesar kaum Quraisy yang sangat dihormati.
Ia menikah 53 atau 54 tahun sebelum tahun Hijriyah dengan Abdullah bin Abdul Muththalib. Dari hasil pernikahannya dengan Abdullah, ia melahirkan Muhammad 52 tahun sebelum tahun Hijriah.
Di saat putranya masih berusia 4 atau 6 tahun, Aminah meninggal dunia ketika melakukan perjalanan ke Madinah. Ia pun dimakamkan di sebuah tempat yang bernama Abwa.
Para ulama Syiah bersepakat akan keimanan Aminah dan leluhur Nabi saw, sebagai tanggapan kepada orang-orang yang mengingkari keimanannya, mereka mengutip catatan sejarah yang menyebutkan Nabi saw sering menziarahi makam ibunya di Abwa.
Kitab Ummu Nabi saw karya Bintu al-Syathi adalah biografi Sayidah Aminah yang ditulis mengunakan bahasa arab dan telah diterjemahkan ke bahasa persia dengan judul Madar-e Payambar saw.
Aminah lahir di kota Mekah. Ayahnya bernama Wahab, seorang pembesar dari bani Zuhrah, kakeknya bernama Abdu Manaf bin Zuhrah yang sezaman dengan putra pamannya yang bernama Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab dan sebagai perhormatan, mereka berdua dipanggil Manafain.
Nenek dari jalur ayahnya adalah Atikah binti Auqash bin Murrah bin Hilal al-Sulaimah, salah seorang dari tiga ‘Awatik yang dibanggakan Rasulullah saw dengan mengatakan, انا ابن العَواتک من سُلَیم yang artinya, “Aku adalah putra dari al-‘Awatik dari bani Sulaim.”
Ibu Aminah bernama Barrah, kakek dari jalur ibunya bernama Abdul ‘Uzza dan nenek dari jalur ibunya bernama Ummu Habaib bin Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushai, sementara ibu Ummu Habaib bernama Barrah binti ‘Auf.
Nabi saw bangga dengan nasab tersebut dan berkata, “Allah swt telah memindahkan saya dari rahim-rahim yang suci dan bersih dan menjadikanku dari sebaik-baiknya silsilah/nasab.”
Aminah menikah dengan Abdullah bin Abdul Muththalib. Saat itu, ia dikenal sebagai perempuan terbaik dari kalangan Quraisy. Sebelum Abdullah melamar Aminah, sejumlah perempuan telah ditawarkan kepada Abdullah seperti putri Naufal bin Asad, Fatimah binti Marra, Laila Adwiyah dan lainnya, namun Abdullah menjatuhkan pilihan untuk meminang Aminah.
Diceritakan, ketika Abdullah melamar Aminah, banyak perempuan yang patah hati dengan keputusan tersebut. Acara dan pesta pernikahan dua pembesar Quraisy tersebut berlangsung selama tiga malam tiga hari. Sepanjang pesta pernikahan tersebut, berdasarkan tradisi kabilah, ia menetap di rumah pengantin perempuan.
Hanya berselang beberapa hari pasca pernikahan, Abdullah melakukan perjalanan dagang dan karena menderita sakit, ia pun meninggal dunia di Yastrib dan dimakamkan di kota tersebut.
Ketika Aminah mendengarkan kabar kewafatan suaminya, ia pun bersenandung pilu.
Menurut sebagian catatan sejarah, kewafatan Abdullah hanya berselang sedikit dengan kelahiran putranya, Muhammad. Sebagian pula menyebutkan, kewafatan Abdullah yang begitu cepat pasca keselamatannya dari pengurbanan menunjukkan sebuah takdir Abdullah menikah dengan Aminah yang dari pernikahan tersebut lahir Muhammad.
Menurut pandangan Syiah, Aminah melahirkan Muhammad pada 17 Rabiul Awal tahun Gajah, berbeda dengan versi Ahlusunah yang meyakini peristiwa tersebut terjadi pada 12 Rabiul Awal.
Berita kelahiran Muhammad menjadi kabar yang sangat menggembirakan bagi bani Hasyim. Sewaktu berita tersebut sampai ke telinga Abu Lahab dan itu menggembirakan hatinya, ia membebaskan budaknya, Tsuwaibah Aslamiyah yang membawa kabar tersebut kepadanya.
Abdul Muththalib memberikan nama Muhammad pada bayi yang dilahirkan Aminah, yang membuat kaum Quraisy bertanya-tanya mengapa dinamakan dengan nama itu. Abdul Muththalib menjawab, “Aku inginkan dia menjadi yang terpuji di langit dan di bumi.”
Aminah pasca melahirkan, ia mengasuh sendiri bayinya. Awalnya, karena disebabkan keterbatasan materi dan ketidaksanggupan untuk menyewa pengasuh, Aminah menolak setiap tawaran orang yang hendak mengasuh bayinya.
Namun pada akhirnya ia menyerahkan Muhammad di bawah pengasuhan Halimah Sa’diyah, karena Muhammad juga butuh asupan asi. Setelah 2 tahun berada dalam pengasuhannya, Halimah pun membawa kembali Muhammad kepada ibu kandungnya, namun karena anak ini membawa keberkahan kepadanya dan menjaganya dari waba yang menyerang Mekah, ia meminta izin kepada Aminah agar Muhammad tetap bersamanya beberapa tahun lagi dan tinggal bersamanya di perkampungan di gurun pasir. Aminah menyepakati permohonan tersebut.
Akhirnya Aminah pada tahun keenam setelah tahun Gajah, ketika Muhammad berusia 5 tahun 2 hari, Halimah mengembalikan Muhammad kepada ibunya.
Pada tahun ketujuh setelah tahun Gajah, Aminah membawa Muhammad ke Madinah untuk menziarahi makam ayahnya Abdullah dan bertemu dengan paman-paman Abdullah dari pihak ibu. Paman-paman ayah Muhammad saw berasal dari bani Najjar. Sayangnya, dalam perjalanan kembali dari Madinah, Aminah meninggal dunia karena sakit dan dimakamkan di Abwa. Ummu Aiman-lah yang mengantar Muhammad untuk kembali ke Mekah dan tiba 5 hari setelahnya di kota tersebut.
Suyuthi dari ulama Ahlusunah menulis, sepulang Nabi Muhammad saw dari perang Tabuk, ia memutuskan untuk melakukan ibadah haji dan umrah. Oleh karena itu, ia melakukan perjalanan dari kota Madinah ke Mekah. Setiba di makam ibunya, dalam doanya ia meminta agar ibunya diampunkan dosa-dosanya, namun permintaan tersebut tidak dikabulkan oleh Allah swt. Peristiwa tersebut menandai turunnya ayat, “Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya (baca: pamannya, Azar), tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah ia janjikan kepadanya. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa ia adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (Qs. At-Taubah: 114]
Demikian pula Suyuthi menukil dari Ibnu Mas’ud, suatu hari Rasulullah saw berziarah ke makam kaum muslimin dan kami pun mengikutinya. Setibanya, ia duduk di hadapan makam, lalu menangis serta berdoa. Kami pun turut menangis dan berdoa.
Ia bertanya, “Mengapa kalian menangis?”
Kami menjawab, “Tangismu menjadi penyebab kami menangis.”
Nabi Muhammad saw berkata, “Kubur di hadapanku adalah kubur ibuku. Allah mengizinkanku menziarahinya, namun tidak mengizinkanku untuk memohonkan ampun untuknya.”
Kemudian turunlah ayat, “Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (mereka), sudah jelas bagi mereka bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” (Qs. At-Taubah: 113)
“Penyebab menangisnya Rasulullah saw adalah hal tersebut.”
Menurut versi Syiah, riwayat-riwayat di atas tidak mutawatir karena Syiah secara ijma meyakini bahwa Abu Thalib, Aminah binti Wahab dan Abdullah bin Abdul Muththalib serta kakek Rasulullah saw sampai ke Nabi Adam as, kesemuanya adalah orang-orang beriman. Akidah Syiah tersebut terdapat dalam literatur-literatur Syiah.
Imam Shadiq as berkata, “Jibril as menemui Rasulullah saw dan berkata, Wahai Muhammad! Allah swt menitip salam untukmu dan berfirman, “Aku telah mengharamkan neraka Jahannam atas sulbi yang engkau lalui, atas rahim yang mengandungmu dan pangkuan yang mengasuhmu. Sulbi itu adalah sulbi Abdullah bin Abdul Muththalib, rahim itu adalah rahim Aminah binti Wahab dan pangkuan itu adalah pangkuan Abu Thalib—menurut versi yang diriwayatkan Ibn Fadhal—dan Fatimah binti Asad.”
Selain itu, riwayat-riwayat yang menjadi dasar keyakinan bahwa Aminah binti Wahab meninggal dalam keadaan kufur memiliki sejumlah kejanggalan, sebagai contoh Allamah Amini menulis:
“Apakah Nabi Muhammad saw di hari Tabuk, itu pun setelah turun ayat yang kami sebutkan di atas, tidak mengetahui bahwa ia dan sahabat-sahabatnya tidak diperkenankan memohonkan ampun untuk para penyembah berhala? Dan bagaimana mungkin Nabi Muhammad saw memohon kepada Allah swt agar ibunya diampuni? Apakah Nabi menganggap ibunya berbeda dengan manusia yang lain? Apakah riwayat ini hanya rekayasa yang sengaja dibuat-dibuat untuk menjatuhkan kehormatan Rasulullah saw dan kesucian ibunya dengan noda penyembahan berhala?”
Allamah Amini menambahkan, “Sebagian menafsirkan bahwa permintaan ampunan dalam ayat tersebut adalah permohonan ampun untuk sang mayat yang diminta oleh orang-orang yang melaksanakan salat mayat. Dengan demikian, kalau seperti itu halnya maka tidak sesuai dengan riwayat-riwayat tersebut.” (*)
Sumber: Wikishia