Oleh: Ellisa Wulan Oktavia*
Kampus adalah ranah pendidikan bagi orang yang belajar mengajar ilmu pengetahuan dalam membentuk karakter yang didasari oleh nilai-nilai kehidupan. Kampus yang hierarkinya ditempati oleh orang-orang intelektual dan terdidik seharusnya menjadi laboratorium pembelajaran serta pusat percontohan dalam penegakan dan pemenuhan hak asasi bagi setiap individu, namun kasus pelecehan seksual yang marak terjadi di kampus selalu menjadi topik pembicaraan, yang justru menimbulkan kekhawatiran perempuan bahkan justru menjadi tempat yang menyimpan trauma serta dianggap menjadi tempat yang tidak aman sebab semakin menjamur pembiaran-pembiaran kasus pelecehan seksual yang terjadi di kampus.
Kampus seharusnya menjadi tempat dalam menjunjung tinggi norma-norma berkehidupan dan berperilaku dalam mewujudkan ruang aman bagi perempuan atau mahasiswi, justru kini menjadi tempat yang mengancam, mendiskriminasi, tidak memberikan hak untuk merasakan rasa aman dan nyaman.
Menurut data auditor Inspektorat Jendral Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbutristek) tercatat kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan terbanyak berada di perguruan tinggi.
Kehadiran Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual seharusnya menjadi angin segar bagi para mahasiswi dan semua pihak atas ketidakamanan kampus. Peraturan ini tentu menjadi langkah maju agar pimpinan/rektor di perguruan tinggi bisa mengambil langkah tegas menyikapi setiap laporan dengan berperspektif pada perlindungan korban.
Pengesahan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 telah menjadi pijakan untuk mengadvokasi para korban yang tak berani berbicara mengungkapkan kasus. Dalam kebijakan baru tersebut, kampus wajib melakukan pencegahan kekerasan seksual melalui pembelajaran, penguatan tata kelola, serta penguatan budaya mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Kekerasan seksual di kampus-kampus di Indonesia banyak tidak terungkap karena relasi kuasa para pelaku serta ketiadaan payung hukum.
Relasi kuasa pada dasarnya adalah hubungan antara satu orang dengan orang lain, dengan kelompok, yang dirasa superior memiliki sumber daya, pengetahuan, dan status yang mampu mendorong satu orang atau kelompok untuk memanipulasi dan mengendalikan orang lain, menyudutkan pihak korban sebagai pihak yang lemah.
Hubungan antara korban dan pelaku, korban selalu berada pada posisi tak berdaya, lemah serta minim relasi, berbeda dengan pelaku yang merasa superior dengan segala kekuasaan yang dimiliki, korban akan cenderung memiliki rasa segan, takut, khawatir pula dengan nama baiknya yang akan dianggap cacat oleh sebagian pihak sebab tercatat sebagai korban pelecehan. Hal ini berimplikasi tidak menguntungkan bagi korban.
Dalam hubungan tidak seimbang inilah yang membuat kasus justru tidak selesai dengan hasil berkeadilan, bahkan justru merugikan perempuan secara fisik dan mental. Sehingga memilih damai atau justru tidak dilanjutkan tanpa keterangan apa pun.
Menyikapi kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, yang dibutuhkan sebetulnya bukan sekadar jaminan proses hukum yang adil dan melindungi perempuan sebagai korban.
Mendorong korban berani bersuara dan mendekonstruksi penderitaan korban bukan sebagai peristiwa yang memalukan bagi masa depannya, adalah agenda penting yang perlu dibangun sejak awal.
Sosialisasi masif tentang kekerasan seksual harusnya sudah jelas di tingkat rektor, dekan, akademisi, mahasiswa, dan seluruh lini tataran kampus, untuk menerapkan nilai-nilai kehidupan, hak-hak penghargaan pada perempuan, cara mendapatkan perlindungan, maupun pencegahan pelecehan seksual.
Saat ini, pemahaman tentang bentuk kekerasan seksual di kampus juga masih minim. Sebagai contoh, panggilan -panggilan yang bentuknya menggoda perempuan (siulan), bahkan hal-hal yang mengarah pada bahasa-bahasa seksis dan lain-lain adalah salah satu pelecehan seksual yang biasa disebut catcaling.
Namun, hal ini di antara sebagian mahasiswa masih menganggap hal biasa sejak dari dulu sehingga dinilai berlebihan jika dimasukkan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual serta pemahaman yang minim pada tataran mahasiswa yang belum mengartikan bahwa banyaknya bentuk-bentuk pelecehan seksual. Kasus kekerasan seksual juga dianggap tabu diungkapkan karena memalukan nama pribadi, keluarga, dan lembaga.
Kampus masih memandang upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual itu rumit sehingga perlu dibentuk Tim Satuan Tugas (Satgas) PPKS sebagai badan khusus yang menangani kekerasan seksual di kampus.
Satgas pelecehan di kampus harus melakukan penyelesaian permasalahan pelecehan dengan berbagai upaya, melakukan pemanggilan, mediasi, interogasi pada korban oleh birokrasi kampus yang harusnya terselesaikan dengan tuntas tanpa ada pemojokan kepada korban atau justru dilakukan proses-proses pembujukan untuk berdamai kepada pelaku.
Seharusnya kampus sebagai pusat peradaban menunjukkan perannya. Sayangnya, hal tersebut malah dianggap aib dan bisa merusak citra baik kampus. Bahkan terdapat kampus yang terkesan abai terhadap laporan korban. Tidak sedikit laporan berakhir damai. Tidak sedikit pula laporan yang diproses hingga berbulan-bulan, tetapi tidak menemukan titik terang bagi kepentingan korban. Bahkan pelaku masih dapat hidup normal, tanpa merasakan sanksi apa pun atas perbuatan buruknya, sehingga kasus tidak tuntas atau tidak akan pernah terselesaikan.
Kasus pelecehan seksual dapat dianggap tuntas atau selesai apabila korban sudah merasa aman, dan pelaku mendapatkan sanksi yang setimpal atas perbuatannya. Bukan sekedar memberikan peneguran untuk pelaku, sehingga pelaku masih merasa aman dan merasakan kebebasan dalam setiap gerak-teriknya di kampus.
Jika kampus tidak mampu menyelesaikannya dengan memberikan keadilan bagi korban pelecehan, maka apa urgensi dari pembentukan Satgas pelecehan seksual di kampus jika tidak mampu memberikan wadah dan tidak mampu mengadvokasi ketidakadilkan tersebut? Apakah Satgas pelecehan kampus hanyalah formalitas yang menjadi hiasan pelengkap birokrasi kampus saja? (*Ketua Umum Kohati Cabang Kukar)