Oleh: Dedi Purwanto*
Sungguh akhir tahun yang mencabik-cabik akal sehat dan hati nurani. Di tengah gempuran politik yang bergerak seperti bom waktu di permukaan bumi manusia yang bernama Bima, kematian dan kehilangan yang berbaris rapi bagaikan janji sepasang kekasih yang datang silih berganti. Ujung tahun yang sangat melelahkan.
Bebera waktu lalu, awan panas juga datang dari Desa Renda dan Cenggu, yang bergejolak atas dasar klaim kebenaran masing-masing. Konflik antar desa tersebut sangat disayangkan karena disertai penggunaan senjata api sebagai alat dalam konflik.
Sekarang beberapa korban jiwa sudah berjatuhan dan sejumlah rumah mengalami kerusakan sangat parah. Belum lagi dampaknya secara ekonomi, psikologis, dan politik.
Selain konflik Renda dan Cenggu, dalam waktu yang bersamaan terjadi konflik antara warga Desa Ngali, yang menjadikan senjata api sebagai media untuk menyelesaikan permasalahan mereka. Kasus-kasus tersebut entah apa penyebabnya.
Kami tidak akan mengurai penyebab konflik itu, tetapi kami hanya mencoba menelusuri lorong hampa tentang penggunanaan senjata api. Apakah masyarakat (sipil) bisa memiliki senjata api? Kalau bisa, bagaimana masyarakat dapat memilikinya? Bagaimana peran kepolisian dalam penggunaan senjata api di Kabupaten Bima, khususnya di Kecamatan Belo?
Dasar Hukum Kepemilikan Senjata Api
Sudah menjadi rahasia umum bahwa di beberapa kecamatan, khususnya di Belo Selatan, sangat marak sekali penggunaan senjata api. Kita lihat dalam setiap konflik yang terjadi di kecamatan tersebut, entah itu konflik antar individu maupun konflik antar desa, apa pun jenis konfliknya selalu dipertontonkan penggunaan senjata api baik yang legal maupun ilegal. Kebanyakan senjata api yang digunakan berstatus ilegal. Hal ini jika kita amati dari syarat kepemilikan dan jenis senjata api.
Peraturan Kapolri Nomor 82 Tahun 2004 mengatur siapa saja yang boleh memiliki senjata api di kalangan sipil. Ada beberapa golongan kelompok sipil yang boleh memiliki senjata api. Beberapa golongan yang dimaksud di antaranya direktur utama, menteri, pejabat pemerintahan, pengusaha utama, komisaris, pengacara, dan dokter.
Selain golongan tertentu, warga sipil diperbolehkan memiliki senjata api dengan ketentuan ketat. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 81 dan Pasal 81 ayat (2) Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2022.
Prosedur untuk memiliki senjata api terlebih dulu dilihat dari sisi urgensinya. Kepemilikan senjata api bagi warga sipil hanya diperuntukkan sebagai alat pertahanan diri. Warga sipil tidak boleh menggunakannya jika tidak dibutuhkan. Dan senjata api yang dimiliki warga tidak boleh dipertontonkan di depan umum, apalagi untuk menakut-nakuti orang lain.
Selain itu, dalam aturan kepemilikan senjata api, para calon pemilik senjata api harus memiliki keterampilan menembak selama tiga tahun. Mereka juga akan diuji melalui tes psikologi, tes kesehatan, keterangan tidak pernah terlibat pidana sebelumnya, batasan usia minimal 21 tahun dan maksimal 65 tahun, dan beberapa syarat admnistrasi lainnya.
Calon pemilik senjata api juga harus secara resmi mendapatkan surat izin yang disebut Izin Khusus Senjata Api (IKSHA) dari instansi atau kantor yang bertanggung jawab atas kepemilikan senjata api. Izin ini pun harus diperpanjang setiap tahun.
Pasal 3 Peraturan Kepolisian RI Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perizinan Senjata Api Organik Polri mengatur perizinan senjata api non organik Polri/TNI serta perizinan peralatan keamanan yang digolongkan senjata api.
Senjata api yang boleh digunakan oleh warga sipil selain Polri/TNI hanya senjata api peluru tajam, senjata api peluru karet dan senjata api peluru gas. Jenis senjata api tersebut digunakan untuk kepentingan Polsus, PPNS, Satpam, Satpol PP, olahraga, bela diri, dan badan usaha.
Beberapa golongan warga sipil yang diperbolehkan memiliki senjata api tentu harus berdasarkan aturan yang ketat dan syarat-syarat sesuai ketentuan yang berlaku berdasakan hal-hal yang disampaikan oleh penulis di atas.
Selain termuat dalam aturan tersebut, juga bisa dipelajari lebih teliti mengenai mekanisme, syarat, dan batasan terhadap senjata api pada UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948 tentang Mencabut Peraturan Dewan Pertahanan Negara Nomor 14 dan Menetapkan Peraturan tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api, dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api untuk Kepentingan Olahraga.
Mengenai jenis senjata api yang diperbolehkan untuk dimiliki, untuk senjata standar Polri yang selanjutnya disebut senjata api organik Polri adalah senjata api kaliber 5,5 milimeter ke atas dengan sistem kerja manual, semi otomatis dan atau otomatis, serta telah dimodifikasi, termasuk amunisi, granat dan bahan peledak untuk keamanan dan ketertiban masyarakat.
Senjata api non organik Polri atau TNI adalah senjata api kaliber 4,5 milimeter ke atas dengan sistem kerja manual dan atau semi otomatis untuk kepentingan olahraga, bela diri, dan pengemban fungsi kepolisian lainnya.
Sedangkan jenis senjata api sipil adalah senjata api genggam jenis revolver kaliber 32, kaliber 25, atau kaliber 22, senjata api bahu jenis shotgun kaliber 12 mm, dan senjata api bahu kaliber 12 GA dan kaliber 22.
Pidana Kepemilikan Senjata Api Ilegal
Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 (UU Darurat 12/1951) merupakan salah satu peraturan yang mengatur kepemilikan senjata api secara umum dan tindakan pidana. Pasal 1 ayat (1) UU Darurat 12/1951 mencakup sanksi pidana yang menjerat setiap orang dalam aspek kepemilikan, pembuatan, hingga pengeluaran senjata api dari Indonesia tanpa alasan dan izin yang jelas.
Sanksi pidana bagi para pemilik senjata api ilegal tersebut melingkupi: pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun. Namun, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru) pada tahun 2025 kelak, maka sanksi pidana akan berubah menjadi (Pasal 306 KUHP): pidana penjara paling lama 15 Tahun.
Peran Kepolisian dalam Pengawasan Senjata Api
Mengacu pada beberapa konflik yang kami sampaikan tersebut, maka dapat kita tarik benang merah bahwa kepemilikkan senjata api menggunakan jalur legal berarti dasar hukum kepemilikannya harus memenuhi syarat-syarat seperti yang tertuang dalam Peraturan Kepolisian RI Nomor 1 Tahun 2022.
Tetapi, mengacu pada realitas yang terjadi, warga yang terlibat dalam perang tersebut bukan golongan Polsus, PPNS, Satpam, dan Satpol PP, dan bukan juga penggiat olahraga profesional seperti dalam Peraturan Kapolri 1/2022 tersebut.
Dilihat dari latar belakang masyarakat yang kebanyakan petani, maka bisa dipastikan cara mereka memperoleh senjata api melalu jalur ilegal. Dan seharunsya polisi serius mengurus hal ini. Bukan saja menggunakan upaya represif, tetapi lebih dimasifkan lagi upaya preventif.
Selama ini kepolisian terlihat lalai menggunakan usaha preventif dan repsesif di wilayah Kecamatan Belo. Kepolisian lebih suka datang untuk menengahi dengan maksud mencegah konflik yang sedang terjadi, seperti pahlawan yang datang di siang bolong.
Di sisi lain, kepolisian terkesan melakukan pembiaran terhadap kepemilikan senjata ilegal tersebut. Kalau ada indikasi pembiaran, berarti patut kita curigai bahwa kepolisian “bermain” dalam penyebarluasannya dan kemungkinan “terlibat” dalam beberapa konflik yang menggunakan senjati api di Kecamatan Belo.
Padahal beberapa tahun terakhir senjata api selalu digunakan dalam setiap konflik di Kecamatan Belo, seperti salah satu kasus yang kami sampaikan sebelumnya, kasus antara sesama warga Desa Ngali beberapa waktu yang lalu, di mana kasus tersebut bermula dari salah satu warga Ngali yang meninggal. Keluarga korban tidak terima atas pembunuhan itu. Hal ini memicu upaya balas dendam oleh keluarga korban kepada tersangka sehingga berakibat pada konflik yang menggunakan senjata api. Dampak konflik itu jelas sangat meresahkan masyarakat desa tetangga yang tidak tahu masalah tersebut.
Juga beberapa konflik lain yang terjadi di Kecamatan Belo, yang kebanyakan diselesaikan menggunakan senjata api. Artinya, penggunaan senjata api bukan saja terjadi pada konflik antara warga Cenggu dan Renda beberapa waktu lalu atau hanya terjadi antara sesama warga Ngali di waktu yang bersamaan.
Jauh sebelum itu penggunaan senjata api oleh oknum di Kecamatan Belo sebagai perantara untuk menyelesaikan masalahnya sudah terjadi jauh sebelum itu. Penggunaan senjata api merupakan tren baru dalam penyelesaian persoalan.
Sebagai solusi, kami membagi dua peran kepolisian dalam hal kepemilikan senjata api tersebut: peran kepolisian dalam hal kepemilikan senjata api legal dan peran kepolisian dalam kepemilikan senjata api ilegal.
Pertama, peran kepolisian dalam kepemilikan senjata api legal. Pasal 190 Peraturan Kepolisian RI Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perizinan Senjata Api Organik Polri, Perizinan Senjata Api Non Organik Polri/TNI, Perizinan Peralatan Keamanan yang Digolongkan Senjata Api menyatakan bahwa pengawasan dan pengendalian terhadap pemegang izin, kepemilikan dan penggunaan senjata api non organik Polri/TNI untuk kepentingan bela diri dilakukan oleh: Kepolisian Sektor, Kepolisian Resor, Kepolisian Daerah, dan Markas Besar Polri.
Cara kerja pengawasan dan pengendalian ini dilakukan dengan mutatis mutandis (cara kerjanya berdasarkan keputusan tetapi diperbolehkan disesuaikan dengan keadaan tertentu).
Kepolisian di tingkat kecamatan sampai pusat bekerja maksimal dengan cara memastikan dan mengontrol setiap penggunaan senjata api yang legal itu digunakan berdasarkan ketentuan pengajuan dan izin penggunaan senjata api berdasarkan aturan yang berlaku.
Kedua, peran kepolisian dalam kepemilikan senjata api ilegal. Usaha pengawasan dan pengendalian senjata api ilegal bisa dilakukan dengan cara preventif dan represif.
Cara preventif adalah usaha yang dilakukan sebelum kejahatan terjadi atau segala usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mencegah tindak pidana pemilikan dan penyimpanan sejata api tanpa izin.
Usaha yang dilakukan oleh pihak penegak hukum terhadap tindak pidana pemilikan dan penyimpanan sejata api tanpa izin adalah melakukan penyuluhan hukum, baik itu dilakukan dengan cara terjun langsung ke masyarakat ataupun melalui media cetak seperti televisi, radio, dan lain-lain.
Cara represif adalah usaha yang dilakukan oleh pihak penegak hukum setelah terjadi kejahatan atau segala usaha yang dilakukan untuk menanggulangi kejahatan yang dilakukan secara langsung terhadap pelaku tindak pidana tersebut.
Upaya yang dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana pemilikan dan penyimpanan sejata api tanpa izin yaitu: Pertama, razia dilakukan oleh aparat Polri. Usaha yang dilakukan oleh aparat Polri ini berupa razia mendadak ataupun secara rutin terhadap masyarakat baik melalui rumah ke rumah maupun razia yang dilakukan di jalan sehingga diharapkan pelaku tindak pidana ini dapat terjaring, razia juga disertai denda sasaran selektif khususnya senjata api dan bahan peledak serta melakukan kegiatan patroli dan operasi intelijen.
Selain itu, mengikutsertakan anggota masyarakat dalam mencegah kejahatan serta memberlakukan jaga malam dan pos ronda serta siskamling.
Kedua, penyelidikan dilakukan oleh pihak kepolisian dengan cara pengusutan dan pemeriksaan terhadap orang-orang yang dicurigai melakukan tindak pidana memiliki senjata api atau menyimpan tanpa izin.
Selain itu, menunjukkan petugas ke daerah yang tingkat kejahatan dan keamanannya rawan terjadi tindak pidana memiliki senjata api atau menyimpan tanpa izin serta melimpahkan berita acara pemeriksaan hasil penyidikan tersangka penggunaan senjata api tanpa izin untuk dilanjutkan acara pemeriksaannya. (*Akademisi di Provinsi Nusa Tenggara Barat)