BAINDONESIA.CO – Cashuri, seorang petani bawang merah dari Desa Bhuana Jaya, mendapatkan hasil panen 8 ton di lahan seluas satu setengah hektare.
Kekurangan stok bawang merah di Provinsi Kalimantan Timur dimanfaatkan dengan baik oleh Cashuri untuk menanam bawang merah di desa yang terletak di Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kukar tersebut.
Harga bawang merah di Kukar, sambung dia, kerap lebih mahal dibandingkan daerah-daerah lain. Pasalnya, tak banyak petani yang menanam bawang merah di Kukar.
Sementara di Pulau Jawa, tak sedikit petani yang menanam bawang merah. Hal ini pula yang mendorongnya untuk mengembangkan tanaman tersebut.
“Jadi, ada kepikiran waktu 2018 akhir itu kami mulai dan 2019 kami panen pertama,” ucapnya, Rabu (21/2/2024).
Saat ditawarkan untuk menanam bawang merah oleh Pemerintah Provinsi Kaltim lewat Pemerintah Daerah Kukar, ia sempat merasa ragu karena belum memiliki pengalaman bertani bawang merah.
Meski begitu, dia tak menolak tawaran tersebut. Hanya saja, Cashuri meminta bimbingan dari penyuluh pertanian lapangan dan dinas terkait.
“Akhirnya kami mencoba 2019. Alhamdulillah kami berhasil. Jadi, setiap tahun kami tanam bawang merah,” jelasnya.
Setelah disetujui dan disepakati akan ada bantuan bibit dan pupuk dari pemerintah, ia menyetujui untuk menanam bawang yang hasil panennya akan dinikmatinya sendiri.
“Waktu itu kami tidak terlalu terbebani karena hanya modal tenaga aja. Jadi, pemikiran saya, ‘masa di Jawa aja bisa, di sini juga bisa.’ Jadi, kami mencobanya,” terang dia.
Bibit dari pemerintah yang ditanam dan dipanennya saat ini berupa bibit berbentuk umbi. Sedangkan tahun sebelumnya ia mendapatkan bantuan bibit dalam bentuk biji.
Penanaman bawang dari bibit berbentuk biji dan umbi berbeda. Bibit berupa biji harus disemai terlebih dahulu selama 30-40 hari, baru kemudian dipindah tanam.
Sementara bibit berbentuk umbi bisa langsung ditanam tanpa terlebih dahulu disemai.
Perbedaan lain, bibit berbentuk biji hanya dibutuhkan 4 kilogram untuk lahan seluas 1 hektare. Sedangkan bibit berbentuk umbi membutuhkan 1 ton untuk lahan dengan luasan yang sama.
Karena itu, kata dia, bibit berbentuk umbi lebih mahal dibandingkan bibit dalam bentuk biji. “Biji bawang 100 kilo seharga Rp 3 juta. Kalau umbi 1 kilo bisa Rp 40 ribu. Tenaga memindahkan bibit ke lahan juga lebih hemat menggunakan bibit bawang daripada umbinya,” jelas Cashuri.
Dari segi masa tanam dan perawatan, ia menyebut dua jenis bibit itu tak memiliki perbedaan yang signifikan.
Dalam 1 hektare bibit berbentuk biji, dia bisa memanen 8-9 ton bawang merah. Sementara yang berbentuk umbi bisa menghasilkan 12-13 ton bawang merah.
Ia mengaku terdapat perbedaan cara menanam bawang di Kukar dengan daerah lain seperti Bima Nusa Tenggara Barat dan Palu Sulawesi Barat. Umumnya, para petani di daerah-daerah tersebut menanam bibit berbentuk umbi.
Perbedaan pertanian dan hasil panen bawang merah di Kukar dan pulau lain, menurutnya, terletak pada struktur tanah dan sistem pengairan sawah.
Petani di Kukar hanya bisa menghasilkan 8 ton bawang merah dalam 1 hektare lahan. Sedangkan di Pulau Jawa dengan luasan yang sama bisa menghasilkan 19 ton bawang merah.
Kesiapan air juga menjadi pembeda antara Kukar dengan daerah-daerah lain yang menjadi sentra pertanian bawang merah.
“Kalau di sana air masih mencukupi kebutuhan pertanian mereka. Di sini hanya memanfaatkan curah hujan,” jelasnya.
Hanya saja, bawang merah di Kukar tak diganggu oleh hama ulat. Sementara di Pulau Jawa banyak hama ulat yang sewaktu-waktu menyerang tanaman tersebut.
Dia menyimpulkan bahwa lahan di Kukar dapat dimanfaatkan untuk menanam bawang merah. “Tapi harus banyak zat kapur. Penggunaan pupuk kandang yang banyak bisa membuat zat asam yang dibutuhkan tanaman bawang,” katanya.
Dalam mengolah lahan, ia menggunakan excavator yang berukuran kecil. Saat ini, dia hanya perlu menyewa kultivator. Pasalnya, lahan yang digunakannya telah terbentuk bedengan.
Upah penggarapan lahan per jam Rp 300 ribu. Pengerjaannya memakan waktu 27 jam. Ia merogoh kocek Rp 13,5 juta untuk mengolah satu setengah hektare lahan.
Cashuri juga harus mengeluarkan uang untuk membayar pekerja saat menanam bawang merah. Penanaman bawang merah di lahan seluas satu setengah hektare membuatkan 56 orang. Upah per orang dalam sehari Rp 140 ribu.
Selain itu, dia mengeluarkan biaya untuk perawatan seperti pembelian racun, pupuk, dan lainnya sekitar Rp 45 juta.
“Kalau ditotalkan biaya dari penggarapan dan perawatan ini habis sekitar Rp 70 juta,” ungkapnya.
Menurut Cashuri, perawatan bawang di Kaltim tak terlalu sulit. Tanaman lain harus dilihat setiap hari. Sementara bawang merah hanya sesekali diperhatikan.
“Kesulitannya pengairan karena di sini masih memakai air dari tadah hujan; belum ada sumur bor,” katanya.
Ia menjual hasil panennya ke pengecer. Harga bawang merah di kisaran Rp 20 ribu masih menguntungkan bagi petani.
“Kalaupun harganya Rp 20 ribu dikalikan 8 ton itu masih mendapatkan keuntungan,” ujarnya.
Ia optimis dapat mengembangkan tanaman bawang merah di Kukar. Hanya saja, Cashuri membutuhkan bantuan dari pemerintah.
Selain bantuan dalam bentuk bibit, dia meminta pemerintah memperbaiki jalan usaha tani. “Kalau akses bagus kan biar musim hujan lebih tenang,” katanya.
Ia juga meminta pemerintah membuat sumur bor agar petani bawang merah tak bergantung pada tadah hujan. “Bimbingan teknis untuk petani juga kami butuhkan,” pungkasnya. (ia/um)