Oleh: Dr. Muhsin Labib*
“Syiah bukan Islam” dan “Syiah adalah sesat” adalah stigma yang mungkin telah tercangkok dalam batok kepala sebagian orang sebagai justifikasi atas segala tindakan diskriminatif bagi yang fanatik buta dan alasan pengabaian bagi yang terpengaruh.
Stigma itu tentu, selain tendensius dan jauh dari etika tabayyun, menampik fakta benderang sejarah dan bertentangan dengan pandangan ulama terkemuka Ahlussunnah yang mengafirmasi peran penting para imam dari Ahlulbait Nabi sebagai figur-figur utama dalam khazanah Islam terutama Imam Ja’far Shadiq sebagai guru langsung dan tidak langsung empat pendiri mazhab fikih Ahlussunnah, meski fatwa mereka tidak merujuk kepadanya.
Abu Hanifah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang ahli fiqih yang paling alim selain Ja’far bin Muhammad.” [Muwaffaq, Manaqib Abu Hanifah, Jilid I, hlm. 173; Al_-Dzahabi, Tadhkiratul Huffadz, Jilid I, hlm. 157]
Malik bin Anas bersaksi, “Aku sering mengunjungi ash-Shadiq. Aku tidak pernah menemui dia kecuali dalam salah satu daripada keadaan-keadaan, sedang salat, sedang berpuasa, dan sedang membaca kitab suci al-Qur’an. Aku tidak pernah melihat dia meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi Saw tanpa taharah. Ia seorang yang paling bertakwa, warak, dan amat terpelajar selepas zaman Nabi Muhammad Saw. Tidak ada mata yang pernah melihat, tidak ada telinga yang pernah mendengar dan hati ini tidak pernah terlintas akan seseorang yang lebih utama (afdhal) melebihi Ja’far bin Muhammad dalam ibadah, kewarakan dan ilmu pengetahuannya.” [Tahdzib al-Tahdzib, Jilid 2, hlm. 104].
Abu Nu’aim Al Isfahani, penulis kitab Hilyat Al Awliya (wafat 430 H) berkata, “Di antara mereka (Ahlulbait) terdapat seorang Imam (yang paling layak) dalam tutur kata (sebagai rujukan agama) dan kepemimpinan, yaitu Abu Abdullah Ja’far bin Muhammad al-Sadiq, yang telah mendedikasikan dirinya dalam penghambaan dan ketaatan (kepada Allah Swt), lebih memilih keterasingan (uzlah) dan kesunyian, serta melarang sikap ambisi kekuasaan dan (ketenaran) dalam keramaian.” [Hilyat Al Awliya 1/72].
Asy-Syahristani dalam deskripsi panjang tentang profil Imam Sadiq, menuliskan, “Sungguh seorang yang telah tenggelam dalam lautan pengetahuan tidak akan pernah berambisi pada kekuasaan dan seorang yang telah berada pada puncak kesempurnaan hakiki tidak akan khawatir (pada siapa pun dari pesaingnya) untuk menjatuhkannya.” [Al Milal wa Al Nihal 1/147].
Al-Khawārizmiy (wafat. 568 H) saat menyebutkan tentang biografi Abu Hanifah menukil ucapan beliau, “Saya tidak pernah menjumpai seorang yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad, andaikan bukan karena dua tahun maka celakalah Nukman (baca: saya). Yakni dua tahun di mana Abu Hanifah belajar kepada Imam Ja’far al-Sadiq.” [Manaqib Abi Hanifah: 1/172].
Hingga kini di era modern banyak ulama terkemuka yang toleran dan melek sejarah kerap memberikan pernyataan yang mengapresiasi posisi intelektual dan spiritual para tokoh Ahlulbait sebagai ekspresi komitmen kepada toleransi dan resistensi terhadap opini sektarian sebagian komunitas Sunni yang termakan propaganda takfirisme yang disebarkan secara masif dan intensif sejak Republik Islam Iran berdiri dan menentang hegemoni AS, antara lain Syekh Syaltut, Abdul Halim Mahmud, Abu Rayyah para pemuka Al-Azhar lainnya.
Pada tahun 1378 H, Syaikh Mahmud Syaltut, kepala Universitas al-Azhar Mesir, dalam korespondensi dengan Ayatullah Burujerdi mengakui mazhab Ja’fari sebagai mazhab resmi dan secara syar’i membolehkan beramal dengannya.
Meski fikih Ahlulbait menjadikan semua imam sebagai sumber setelah Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw, namum karena penukilan riwayat terkait masalah fikih dan teologi lebih banyak dari Imam Shadiq as, maka mazhab Syiah disebut dengan Mazhab Ja’fari dan Imam Sadiq dikenal sebagai pendiri Mazhab Ja’fari bersanding dengan empat pendiri mazhab dalam fikih Sunni.
Di kalangan Syiah Imam Shadiq bukan narasumber yang menyimpulkan hukum dengan spekulasi (ijtihad) yang berbasis pada dugaan argumentatif sesuai prosedur istimbath. Ia adalah seorang imam yang apa pun yang disampaikannya bukan pendapat yang bisa didiskusikan, bisa diterima bila dianggap benar dan ditolak bila dianggap salah, tapi hukum yang wajib dipatuhi sebagai ketetapan final. Ja’far Sadiq diyakini oleh para pengikut Ahlulbait sebagai penyelesai polemik dan representasi dari ketetapan Allah, Nabi dan para imam sebelumnya. Ia adalah imam keenam dalam rantai imamah yang terjuntai dari Ali bin Abi Talib.
Pada periode Imam Shadiq as, karena lemahnya dinasti Umayyah, ruang gerak dan kebebasan terasa lebih longgar. Iklim inilah yang jarang dialami oleh para imam selain beliau. Para murid Imam bisa berpartisipasi secara bebas dalam dinamika intelektual dan interaksi sosial. Iklim terbuka inilah yang menyebabkan banyak riwayat dari Imam Shadiq as di berbagai bidang fikih, teologi, dan lain sebagainya.
Menurut Ibnu Hajar Haitami, masyarakat banyak menukil ilmu dari Imam dan ketenarannya sampai ke berbagai penjuru kota [Ibnu Hajar Haitami, al-Shawa’iq al-Mu’riqah, hlm. 551]. Abu Bahr Jahiz juga mengutip laporan Hasan bin Ali Wasysya bahwa ia telah melihat sembilan ratus orang di masjid Kufah yang menukil hadis dari Imam Shadiq as. [Najasyi, Rijal Najasyi, hlm. 39, Al Jahiz, Rasail al-Jahizh, hlm. 106].
Imam Shadiq lahir pada 17 Rabiul Awal tahun 83 H/702 di Madinah. Ia wafat sebagai syahid pada 25 Syawal atau 15 Rajab tahun 148 H/766, pada umur 65 tahun di Madinah dan dikebumikan di Baqi’.
Ringkasnya, setelah memahami jalinan historis Syiah dan Sunni melalui kontribusi dan jasa besar Imam Shadiq, maha guru para pendiri empat mazhab yang diagungkan Ahlussunnah, bila seseorang mendiskreditkan Syiah seraya menganggap mazhab Ahlussunnah sebagai satu-satunya yang merepresentasi Islam bisa dianggap linglung sejarah dan bukan Sunni sejati. (*Cendekiawan Muslim)