BAINDONESIA.CO – Tarno merupakan seorang petani sawi di Jalan Taman Arum, RT 9, Desa Sumber Sari, Kecamatan Loa Kulu.
Dia mengembangkan dan menanam bibit sawi lokal di perkebunannya.
“Ini jenis sawi manis. Biasanya saya kembangkan sendiri dari buah sawi (yang) saya keringkan dan saya semai sendiri,” jelasnya, Senin (26/2/2024).
Pengembangan bibit lokal dilakukannya karena bibit di pasar tergolong mahal; harganya Rp 3 juta per kilogram.
“Kecuali sawi sendok atau pakcoy. Itu harus beli bibitnya karena enggak bisa dikembangkan. Gagal terus kemarin saya coba,” ucapnya.
Sawi lokal memiliki keunggulan tersendiri: lebih tahan dan adaptif terhadap cuaca di Provinsi Kalimantan Timur, serta hasilnya jauh lebih banyak dibandingkan sawi dari bibit jenis lain.
“Kalau yang ada di toko itu hasil panennya rendah. Terus daya tahan kalau dikirim jauh itu kurang. Kalau jenis lokalan ini sudah teruji,” sebutnya.
Sepanjang tahun ia bisa menanam tanaman dari kelompok tumbuhan genus Brassica tersebut.
“Sistem penanaman saya ini enggak kenal musim karena kita pakai sprinkler yang kincir; bisa menyiram secara manual dengan merata,” ucapnya.
Tarno memiliki lahan 1 hektare yang digunakannya untuk menanam sawi. Lahan seluas itu bisa menghasilkan 5.000 ikat sawi atau 1 ton dalam satu kali masa panen.
“Kalau musim seperti ini 1 hektare bisa 2.000 bibit,” katanya.
Sawi yang ditanaminya harus berumur 35 hari baru bisa dipanen. Pembagiannya yakni masa penyemaian 15 hari dan setelah pindah tanam 20 hari.
Pada musim hujan yang disertai angin, sawi yang berasal dari bibit lokal tergolong rentan. Daunnya akan pecah bila ditanam dalam kondisi demikian.
Selain itu, sawi tersebut akan rentan mati jika terlalu banyak air. “Dari 8 daun biasanya yang bisa diambil cuman 4 atau 3 daun,” ungkapnya.
Ia menyebut hama yang kerap menyerang tanamannya hanya jamur dan ulat. “Itu juga enggak terlalu. Biasanya bisa dicegah pakai pestisida,” jelasnya.
Untuk menyuburkan tanah, Tarno mengaku kerap menggunakan pupuk kandang yang dibelinya dari para peternak di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Dia acap menggunakan pupuk kandang yang berasal dari kotoran ayam. “Paling murah dari pupuk kompos lain. Kalau dari kambing itu harganya Rp 2.000 dan sapi Rp 1.000,” terangnya.
Dalam satu kali masa tanam, ia bisa menghabiskan pupuk kandang 4-6 ton di lahan seluas 1 hektare. Untuk peremajaan lahan, Tarno menggunakan 1-1,5 kuintal pupuk kandang.
Modal yang dibutuhkannya dalam satu kali tanam mencapai Rp 15 juta. Modal yang dibutuhkannya akan semakin meningkat saat cuaca hujan yang disertai angin.
“Hujan dan angin kencang bisa nambah pengeluaran. Soalnya pupuk itu larut. Jadi ditambah lagi,” bebernya.
Selain itu, saat musim hujan, dia lebih sering melakukan penyemprotan terhadap tanamannya. Hal ini pula yang membuat modal yang dikeluarkannya membengkak hingga Rp 18 juta. “Itu sudah biaya modal sekaligus perawatan,” ucapnya.
Harga sawi yang ditanamnya mengikuti harga pasar di Kecamatan Loa Janan, Samarinda, dan Balikpapan. Pada Agustus 2023, harganya berada di kisaran Rp 6 ribu hingga 7 ribu per ikat.
“Kalau prediksi saya nanti bulan puasa bakalan naik harganya sampai Rp 8.500,” ucapnya.
Harga sawi paling rendah, ungkap dia, hanya Rp 2.500 per ikat. Harga tersebut dinilainya terlalu rendah karena ia tak mendapatkan keuntungan.
“Cuman balik modal. Enggak sampai rugi. Paling rugi tenaga aja. Yang namanya petani, hal biasa itu,” ujarnya.
Ia kerap menjual sawi yang dipanennya kepada pengepul, yang kemudian mendistribusikannya ke pasar di Kecamatan Loa Janan dan Tenggarong.
Tarno pernah mencoba menjual sendiri sayur-sayuran yang dipanennya, namun hanya bertahan selama 5 tahun.
“Capek karena malam jam 2 atau jam 3 kita sudah bangun. Subuh pulang. Pagi nanti ke kebun lagi. Kalau dibilang memang untung, tapi lebih keluarin tenaga ekstra,” terangnya. (ia/um)